Sabtu, 19 Maret 2011

Menanti sebuah kata maaf

Mendung menyapa pagi ini. Kupandang langit yang kelam dengan rasa gelisah. Bisa dipastikan, sebentar lagi hujan akan turun. Aku terpikir akan Youra. Gadis mungil dengan rambut hitamnya yang tergerai dibahu yang selalu lewat di depan halaman rumahku tiap dia berangkat ke sekolah. Ah, semoga pagi ini dia tak lupa membawa payungnya.
Gerimis mulai berbaris ketika aku melihat gadis berseragam putih abu-abu itu berjalan di depan rumahku. Seperti biasa, dari balik payung birunya, dia menyempatkan diri menoleh ke arahku. Sebentar saja, kemudian bergegas melanjutkan langkah menuju sekolah.
Kuikuti langkah kecilnya. Menyusuri jalan setapak yang basah. Sesekali gadis itu melompat kecil menghindari genangan air agar sepatunya tidak basah.
Jaraknya tak lebih dari 300 meter dari rumah. Sesampai di depan kelas, Youra melipat payungnya dan menyandarkannya di dinding, melangkah menuju bangkunya. Di sana sudah ada Tia teman sebangkunya yang sudah menunggu.

"Pagi, Youra..." sapa Tia hangat.
"Pagi juga, Tia..." Youra tersenyum manis. Menyimpan tas di bawah meja. Merapatkan jaket yang membalut tubuh mungilnya.
"Kehujanan?"
"Tidak juga," Youra menggeleng. "Aku pakai payung kok. Tapi dingin betul pagi ini."
"Kalau begitu, kita ke kantin yuk...Hangatkan badan dengan segelas teh manis hangat."
"Ayo deh...Kita masih punya waktu sebelum bel masuk berbunyi."
Youra dan Tia melangkah keluar beriringan. Satu persatu teman mulai berdatangan. Aku masih duduk diam di bangkuku, di sudut kelas yang gelap dan lembab. Seorang diri, tak ada satupun yang peduli.

Betapa inginnya aku bicara pada Youra. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Mana mungkin aku tiba-tiba datang padanya kemudian mengupas masa lalu kami? Aku tak bisa melihat gurat luka di wajahnya lagi.
Namun begitu, aku harus segera bicara dengannya. Aku tak punya banyak waktu lagi untuk menunda. Di sini aku gelisah. Lorong gelap di depanku kian memudar. Sebentar lagi lorong itu akan tertutup rapat dan menghilang. Dan aku akan tertinggal di sini. Dengan rasa gelisah yang akan terus membuatku menyeret langkah dengan beban yang kian berat. Tak akan ada lagi kesempatan kedua untukku. Aku akan terkunci di tempat ini. Sendiri di gerogoti penyesalan yang perlahan akan menghancurkanku.

"Waduh!! Aku lupa mengerjakan PR matematika..." Tiba-tiba Youra memekik diantara riuh teman-temannya yang sedang berbincang. Gadis itu sudah kembali ke bangkunya bersama Tia. Tia tertawa keras melihat kepanikan temannya itu.
"Ngapain aja sih kok sampai lupa ngerjain PR?" Tia mengeluarkan sebuah buku bersampul cokelat dari dalam tasnya. "Nih pinjam punyaku!"
Youra nyengir menerima buku yang disodorkan Tia kepadanya. Aku menggelengkan kepala melihat gadis manis itu dengan terburu-buru menyalin PR Tia ke dalam bukunya.
"Untung aku punya sahabat sebaik kamu," Youra menggumam di tengah asyiknya dia mencatat. Tia tergelak.
"Kalau Egy tahu kamu nyontek PRku, kamu pasti dimarahi..."
Youra menghentikan tarian pulpennya. Tiba-tiba dia terdiam mendengar namaku disebut. Aku cemas melihat wajahnya yang berselimut murung. Tia segera menyadari kekeliruannya. Dengan sigap direngkuhnya bahu Youra kedalam pelukannya.
"Maaf..." suara Tia terdengar gelisah. "Aku tak bermaksud membuatmu sedih..."
"Tak apa..." tukas Youra cepat. Memaksakan bibirnya tuk tersenyum. Terlihat getir. Aku terpaku di tempatku. Tak mampu beranjak. Tubuhku kaku dan menegang. Bagaimana aku bisa bicara dan meminta maaf pada Youra, sedangkan saat mendengar namaku disebut saja dia langsung semurung itu? Aku tak sanggup melukai hatinya lagi. Aku sudah berjanji takkan menyakiti gadis yang sangat kucintai itu lagi.

"Youra," Defa memanggil dan bediri tegak di samping Youra. Wajahku menegang melihat sang ketua kelas yang selama ini selalu berusaha mendekati gadis itu.
"Iya?" Youra mengangkat wajah.
"Nanti malam, mau ga nemenin aku nonton?"
Youra diam tak langsung menjawab. Tampaknya dia sedang berpikir. Aku tak tenang melihat reaksinya begitu. Padahal biasanya dia langsung menolak apapun ajakan Defa padanya. Aku makin gelisah ketika kulihat Tia yang berusaha mempengaruhi Youra agar menerima ajakan Defa.
"Berangkat aja, Ra," hasut Tia. "Kamu perlu menghibur diri sekali-sekali."
Aku mengerang ketika kulihat Youra menganggukkan kepalanya pada Defa.
"Boleh deh," jawaban Youra membuatku lemas. Muak melihat wajah Defa yang mendadak cerah dengan mata berbinar.
"Sip! Aku jemput jam enam, ya?"
Lagi-lagi Youra mengangguk mengiyakan.Aku menggeram. Kecewa dengan ketidak berdayaanku yang tak bisa berbuat apa-apa melihat orang yang kucintai menerima ajakan kencan dari pria lain.
Namun aku segera tersadar. Rasanya aku pantas menerima ini semua. Sebab aku pernah memperlakukan Youra lebih kejam dari ini.

Masih teringat dengan jelas bola mata Youra membulat menatapku penuh tanya dan aku berusaha menghindar dari tatapannya itu. Aku tak bisa melihat kedua mata yang jernih itu berkaca-kaca terbungkus air mata yang menggenang dan siap tumpah.
"Aku tak mengerti, Egy," desisnya dengan suara yang sangat lirih. "Mengapa tiba-tiba kamu memutuskan hubungan kita? Apa salahku?"
Aku terbungkam. Kualihkan pandanganku pada jalan yang lengang dari balik jendela cafe. Jawaban yang telah kusiapkan sebelum kuputuskan untuk mengajak Youra bicara di tempat ini hilang menguap begitu saja.Susunan daftar kebohongan dan alasan yang sudah kurekam di kepala lenyap saat kulihat wajah polos Youra yang begitu memelas. Aku masih punya nurani untuk merasa iba padanya.
"Kenapa kamu diam saja, Egy?" Youra menyentuh punggung tanganku, memaksaku untuk menatapnya. Aku menghela nafas.
"Maafkan aku..." hanya itu yang keluar dari bibirku. Youra menggeleng cepat.
"Tidak ! Itu bukan jawaban yang ku mau...Apakah ada gadis lain?"
Pertanyaan telak, membuatku tercekat. Kelebat wajah Tania terlintas di pikiranku. Wajahnya yang cantik, kulitnya putih bersih, tinggi semampai. Tingkahnya yang lincah, manja dan agresif. Berbeda dengan Youra yang mungil, manis, kalem dan lebih malu-malu. Tania adalah gadis impian semua pria. Dan aku telah terpikat pada pesonanya yang menggoda.
Bagaimana aku bisa menjelaskan hal ini pada Youra tanpa melukai perasaannya?
"Youra...Semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dariku," ucapku lirih.
"Tidak !" Suara Youra meningkat. Air matanya benar-benar tmpah menggenangi pipi. "Tak ada yang membuatku lebih baik selain denganmu."
Kalimat Youra mengiris batinku. Namun tetap tak mampu menyurutkan niatku.
"Aku bukan orang yang tepat buatmu."
"Kamu kejam, Egy !"
"Kamu boleh membenciku bila itu bisa membuatmu lebih baik."

Youra terdiam. Wajahnya menunduk dalam, menyembunyikan isak yang nyaris tak terdengar. Ujung jarinya menghapus tetesan air yang meleleh di ujung mata. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengantarnya pulang, dia masih mengunci bibirnya. Tak ada lagi kata yang terucap untukku.
Di sekolah, dia menjauh. Terlebih ketika kabar kedekatanku dengan Tania menyebar dan sampai di telinga Youra, gadis itupun semakin menjauh dan nyaris menghilang dari hidupku. Meski kami satu kelas, dia seolah menganggapku tak ada.
Aku bisa pahami sikapnya itu. Aku pantas mendapatkannya. Youra telah mengubah rasa cintanya padaku menjadi kebencian. Sangat wajar memang.
Namun aku mulai merasa kehilangan. Hidupku menjadi kosong. Aku kesepian. Tak ada Youra membuat hariku menjadi hampa. Baru kusadari jika ternyata gadis itu telah mengisi penuh seluruh ruang hatiku. Hadirnya Tania hanya memberi kebahagiaan sesaat saja untukku. Dia tak bisa menggantikan Youra di hatiku.
Kecantikan Tania akhirnya menjadi boomerang bagiku. Akupun harus menelan kecewa ketika pada akhirnya gadis itu berpaling pada Andika.
Dalam putus asa, ku coba kembali mendekati Youra. Namun gadis itu benar-benar telah mengunci hatinya. Tak sedikitpun diberinya aku kesempatan untuk mendekatinya. Youra telah membangun benteng yang teramat tinggi untuk melindungi dirinya dariku.

Terpuruk dalam penyesalan...
Hidupku terguncang dan menjadi brutal. Kularikan gundahku bersama teman-temanku. Lewat tengah malam aku selalu datang untuk menjadi joki balapan liar. Nyawa menjadi tidak penting buatku. Aku merasa lepas dan bebas saat kupacu motor dengan melebihi batas kecepatan. Melayang di atas motor yang melaju kencang membuat pikiranku akan Youra teralihkan. Terlebih kedua orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sehingga tak ada lagi yang peduli denganku.

"Egy !" Sebuah suara pelan membangunkanku yang tertidur pulas. Mataku mengerjap menatap sekelilingku. Kesadaranku langsung pulih ketika Youra berdiri di sampingku.
"Youra..." Aku mengucek mata. Kurasa aku masih bermimpi. Tapi ini bukan mimpi. Youra begitu nyata.
"Akhir-akhir ini kamu sering tidur di kelas."
Youra bicara padaku ! Hatiku terlonjak girang. Dan dia peduli padaku.
"Aku ngantuk sekali," jawabku pelan.
"Deni bilang padaku, kamu ikut balapan liar tiap sabtu malam," wajah Youra cemberut padaku. Aku mengangkat bahu.
"Terus kenapa?" Tanyaku.
"Bukankah itu berbahaya?" Youra menatapku cemas. "Hentikan, Egy !"
Aku tertawa lirih.
"Jika kuhentikan, kamu mau kembali padaku?"
Youra diam. Matanya meredup. Masih terbaca jelas luka itu. Luka yang pernah kutikam padanya. Dan aku ikut terluka melihatnya. Teringat kebodohan yang pernah kulakukan padanya. Aku mendengus. Penyesalan kembali merasukiku. Perih luka itu terasa lagi. Aku bangkit dari kursi dengan kesal. Beranjak meninggalkan Youra yang masih mematung. Aku tak mampu terlalu lama berada di dekatnya dan melihat luka itu di matanya. Dia belum bisa melupakan perlakuanku waktu itu, dan aku yakin jika dia juga belum bisa memaafkan aku.


Bintang berpijar cerah malam ini. Kupandang rembulan yang tersenyum pongah menyinari malam. Kuurungkan niatku untuk mengikuti Youra dan Defa yang sedang menikmati kencan mereka malam ini. Aku ingin Youra bahagia.
Dia berhak menjalani hidupnya dengan tenang bersama orang yang mencintainya. Aku yakin Defa orang yang tepat untuknya. Dia pasi bisa melindunginya. Menjaga hatinya.
Aku melihat lorong gelap kembali hadir di depanku. Ada sedikit kerlip cahaya di sana saat ku merasakan ikhlas demi Youra. Namun cahaya itu tak cukup terang untuk membawaku menyusurinya. Masih ada satu hal lagi untuk menjadikannya sempurna... kata maaf dari Youra.

Hari ini aku tak datang ke sekolah. Aku merasa kekuatanku melemah tak berdaya. Apakah ini artinya aku hampir kehabisan waktu ?
Perasaan cemas dan gelisah menyergapku. Rasa takut menyesakkanku.
Hari telah menjelang senja, saat kudengar sebuah ranting terinjak disertai suara langkah kaki yang kian mendekat. Kupaksakan diri di tengah tenaga yang nyaris punah tuk melihat siapa gerangan yang mengunjungiku kali ini. Sebab telah lama aku tak kedatangan tamu sejak kedatangan ibu sebulan yang lalu.
Mataku terbelalak melihat sosok mungil berdiri di depanku. Meletakkan seikat mawar di pembaringanku. Kerudung putihnya menutupi sebagian rambutnya yang legam. Youra menunduk dan bersimpuh di sisiku. Sekelumit doa dia ucapkan dengan tangan menengadah. Setelah mengusapkan telapak tangan di wajahnya, Youra berbicara denganku.
"Egy...aku tahu kedatanganku ini terlambat buatmu. Kamu pasti kecewa karena aku tak pernah mengunjungimu. Aku menyadari jika aku sudah terlalu lama menyimpan sakit hati ini. Dan semalam, Defa membuka hatiku. Menyadarkan aku atas keegoisanku ini."

Aku membatu mendengar kalimat Youra. Defa ! Apa yang dia katakan hingga mampu membuat Youra datang kemari ?

"Defa bilang, aku harus ikhlas," Youra melanjutkan kalimatnya seakan menjawab pertanyaanku. "Dia bilang, jika aku terus menyimpan sakit hatiku itu hanya akan membuatmu tidak tenang. Kau tahu, Egy... hingga saat ini aku masih memikirkanmu. Aku masih sering bermimpi buruk tentangmu. Tentang kecelakaan itu ! Rasanya masih sulit bagiku untuk menerima kenyataan ini."
Youra menarik nafas. Ada setetes air menitik dari matanya. Aku terpekur tanpa suara. Teringat kembali peristiwa sebulan yang lalu.
Deru motor membelah malam. Seperti biasa ku tarik gas sekencang-kencangnya. Entah mengapa, malam itu bayangan Youra tak mau lepas dari pikiranku. Teringat kembali wajah cemasnya yang memintaku untuk menghentikan kegiatan baruku ini.
Dan akhirnya, malam itu aku bertekad jika itu adalah balapan terakhir buatku. Aku akan berhenti demi Youra. Aku takkan membuatnya cemas lagi. Akan kupersembahkan kemenanganku malam itu untuk Youra.
Garis finish sudah di depan mata. Aku menyeringai ketika kusadari aku berada di posisi pertama. Namun entah darimana datangnya tiba-tiba seekor kucing melintas di depanku. Antara terkejut dan berusaha menghindar, aku tak mampu mengendalikan kemudi...
"Egy..." suara Youra kembali memanggilku. "Sekarang ini, aku ikhlaskan kepergianmu. Dan aku sudah memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu. Tak ada lagi sisa sakit di hatiku. Kamu bisa tenang sekarang."
Saat Youra menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba aku melihat lorong di depanku bercahaya terang. Kilaunya menyeruak ke dalam mata, berhiaskan pelangi sebagai titian. Tubuhku menjadi seringan kapas. Aku merasa inilah saatnya untukku.
Kuhampiri Youra yang masih bersimpuh.
"Makasih, Youra," bisikku tepat di telinganya dengan suara lembut. Aku tahu dia takkan mendengarku. Semilir angin menerpa wajahnya, meniup ujung kerudung putihnya. Mungkin dia menyadari kehadiranku. Matanya menari-nari mencari sesuatu di sekitarnya. Namun dia takkan bisa melihatku. Kami berada di dimensi yang berbeda.

Aku berjalan meniti pelangi, setelah sebelumnya kusempatkan melihat wajah Youra tuk terakhir kali. Aku tersenyum padanya. Meyakini jika dia akan baik-baik saja. Dengan tenang kususuri lorong di depanku menuju tempat peristirahatanku yang abadi.


S E L E S A I

Jumat, 18 Februari 2011

Rahasia dua hati

"Namaku Hans."
"Saya tidak tanya nama anda," cetusku dengan suara meninggi. Seluruh pasang mata yang sedari tadi memperhatikan kami menjadi ricuh. Fenita tak henti-hentinya menarik ujung rokku. Namun aku tak menghiraukannya. "Saya hanya ingin mengingatkan anda jika kantor ini ada aturannya. Tentunya anda bisa membaca adanya larangan merokok di ruangan ini. Jadi saya minta anda segera mematikan rokok anda yang mengganggu kenyamanan karyawan di sini."
Pria yang bernama Hans itu hanya memamerkan sederet gigi putihnya padaku. Tapi aku tak terkesan sama sekali. Aku memang karyawan baru di sini, namun aku harus bersikap profesional. Menghadapi tamu seperti itu aku harus bersikap tegas. Seenaknya saja orang itu merokok di tempat umum,terlebih di ruang berAC seperti ini.
"Penampilan anda terlihat berpendidikan," Aku melanjutkan lagi. "Tentunya anda paham jika dalam ruang berAC tidak diperkenankan merokok. Terlebih ada peringatan dari pemerintah, bahwa merokok itu berbahaya. Dapat mengganggu kesehatan jantung, menyebabkan impotensi dan mengganggu pertumbuhan janin. Ditambah lagi baru-baru ini MUI mengeluarkan Fatwa yang menyatakan bahwa merokok itu haram..."
Omonganku mulai ngelantur. Aku ingin pria itu mengerti maksud baikku. Mataku menatapnya tajam. Yang kutatap hanya cengar-cengir di tempat.
"Arini!"
Sebuah suara berteriak marah memanggilku. Pak Daniel berjalan mendekati meja kerjaku dengan langkah panjang.
"Apa-apaan kamu?" Supervisorku itu bertanya dengan nada membentak.
"Saya hanya mencoba memperingatkan Bapak ini tentang tata tertib perusahaan kita, Pak," Aku membela diri. Pak Daniel hendak membuka mulut, namun pak Hans menahannya.
"Sudahlah, Dan," cegah pak Hans dengan kalem. "Jangan marahi dia. Suruh Arini ke ruanganku, ya?"
Pria itu tersenyum padaku, kemudian membalikkan badan dan berlalu. Aku bengong tanpa suara. Pak Daniel menatapku dingin.
"Kamu dengar kan? Kamu harus segera ke ruangan Pak Hans!"
Pak Danielpun langsung meninggalkanku dengan mukanya yang semerah kepiting saos padang. Kenapa dia semarah itu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Semakin bingung melihat sikap orang-orang disekitarku yang berbisik-bisik bahkan ada yang memandang iba padaku. Saat aku menoleh pada Fenita, keherananku makin menjadi melihat wajahnya yang memucat.
"Ada apa sih, Fen?" Akupun bertanya padanya.
"Mampus lu, Ar..." Bagas menepuk bahuku dari belakang.
"Maksud lu??" Aku mendelik padanya. Bagas nyengir lalu pergi.
"Kamu benar-benar nggak tau, Ar?" Fenita berbisik dengan suara yang bergetar. Aku menggeleng dengan bingung.
"Pak Hans itu siapa? Kenapa Pak Daniel menyuruhku ke ruangannya? Ruangan yang mana?"
"Ruang komisaris. Pak Hans pemegang saham terbesar di perusahaan ini."
Suara pelan Fenita meledak di telingaku. Aku terperangah dengan mulut terbuka. Kuharap Fenita bohong padaku. Tapi nyatanya tak ada ekspresi dusta sedikitpun di wajahnya. Benar kata Bagas, aku benar-benar mampus!


Cukup tiga kali ketuk, sebuah suara langsung meneriakkan kata "masuk". Rasanya pintu di depanku sepuluh kali lebih berat dari pintu-pintu yang pernah kutemui sebelumnya. Meski itu cuma perasaanku saja. Aku melangkah dengan ragu. Serasa memasuki ruang sidang di pengadilan dengan dakwaan pembunuhan dan terancam hukuman mati.
Pak Hans duduk di kursinya, sibuk menulis sesuatu di atas meja tak memperhatikan kedatanganku sama sekali. Dingin AC menembus kulitku, membuatku menggigil. Tanpa suara, aku berdiri di depan mejanya. Berharap dia menyadari kedatanganku agar segera melihatku yang terpaku kikuk. Seseorang yang 10 menit yang lalu baru saja kumaki-maki di depan banyak orang, sekarang sedang memegang nyawaku. Nasibku ditangannya. Dia bisa saja memecatku saat ini juga.
"Duduk!" Pria yang kuperkirakan berusia 40 tahunan itu membuka suara tanpa mengangkat kepalanya. Dia masih menulis sesuatu. Suaranya sangat berwibawa. Bagai kucing dicocok ikan asin, akupun duduk di hadapannya. Menyimpan tanganku di atas paha.
"Pak Hans..." ku beranikan diri untuk bersuara. "Saya minta maaf..."
"Nama kamu Arini ya?" Akhirnya dia melihatku dan bertanya. Mengabaikan permintaan maafku. Aku mengangguk.
"Benar, Pak," jawabku. "Saya..."
"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" Lagi-lagi dia memotong kalimatku.
"Baru satu minggu, Pak."
"Hmmm..." dia bergumam.
"Tolong jangan pecat saya, pak!" Pintaku dengan keberanian yang tersisa. Mungkin suaraku terdengar mengiba. Aku teringat ibuku yang seorang janda dan tidak bekerja. Hanya mengandalkan uang pensiun almarhum Bapak. Sementara dua adikku masih membutuhkan banyak biaya untuk sekolah mereka. Akulah satu-satunya harapan mereka. Aku harus mempertahankan pekerjaan yang sudah susah payah kudapatkan ini. Mengingat minimnya lapangan pekerjaan sekarang ini. Pak Hans tertawa keras melihat mukaku yang hampir menangis.
"Siapa bilang kamu akan dipecat?" Pria itu tersenyum. Kuberanikan diriku menatap wajahnya yang tampan.
"Jadi...Saya tidak dipecat khan, Pak?"
"Hey, kau seorang yang berani, cerdas dan tegas. Perusahaan ini membutuhkan orang sepertimu."
Aku bersorak dalam hati. Benar-benar jawaban yang melegakan. Benar-benar pemimpin yang bijaksana.
"Terima kasih, Pak."
"Pertahankan cara kerjamu itu. Terkadang kita memang perlu bersikap sedikit lebih tegas pada orang yang tidak patuh pada tata tertib perusahaan."
"Benar, Pak."
Aku manggut-manggut. Tiba-tiba merasa plong dengan sikap Pak Hans yang diluar perkiraanku.
"Baiklah...kamu bisa kembali bekerja!"
"Baik, Pak...Terima kasih."
Aku bangkit dari kursiku. Setelah tersenyum padanya, aku balikkan badan. Namun baru tiga langkah, tiba-tiba Pak Hans memanggilku.
"Arini!" Aku menoleh kembali padanya. Pria itu tersenyum dan mengedipkan mata. "Minta nomer hapenya donk..."

Bos yang aneh!
Aku menggerutu. Sudah hampir satu minggu sejak peristiwa itu terjadi. Dan kini aku punya aktivitas baru. Membalas SMS dan menerima telepon dari Pak Hans. Hampir tiap satu jam sekali dia mengirimiku SMS. Menanyakan kabar, mengingatkan aku agar segera makan, agar tidak tidur larut malam, dan beberapa hal kecil lainnya. Benar-benar tak kusangka, caci makiku padanya saat itu meninggalkan kesan yang dalam buatnya. Bahkan dia pernah secara terang-terangan menyatakan cintanya padaku.
Sedikit GR juga mendengarnya. Siapa coba yang tidak merasa bangga, disukai Bos besar seperti dia. Apalagi wajahnya juga ganteng. Postur tubuhnya juga tinggi dan tegap. Pria seusia Pak Hans memang terlihat sangat menarik. Dan yang kudengar dari Fenita, Pak Hans sudah bercerai dengan istrinya sejak 5 tahun yang lalu.

Tapi tunggu dulu!! Meskipun aku mengaguminya, namun aku tak bisa menerima cintanya. Bukan karena perbedaan usia kami yang terpaut hampir 25 tahun. Namun karena aku sudah memiliki Alvan. Alvan yang baik, penuh perhatian, walau kadang meledak-ledak bila sedang cemburu. Namun aku justru menyukai sifatnya itu. Tanpa cemburu, cinta tak ada artinya bukan?
"Arini!" Suara Ibu memanggilku dari balik pintu kamar.
"Iya, bu?" sahutku.
"Alvan sudah menunggu."
"Baik, bu..." bergegas kurapikan gaun malamku dan beranjak keluar dari kamar.

Malam ini Alvan bermaksud membawaku ke rumahnya dan memperkenalkan aku pada Orang tuanya. Bahkan dia bilang ingin lebih serius berhubungan denganku.
"Bagaimana penampilanku? Sudah cukup pantaskah?" Aku bertanya pada Alvan yang sedang menungguku di ruang tamu. Saat ini penampilan menjadi sangat penting buatku. Meski Alvan mengatakan jika Orang tuanya tidak akan mempersoalkan perbedaan sosial di antara kami, namun setidaknya aku ingin memberi kesan pada mereka jika aku cukup pantas mendampingi putra tunggal mereka.
"Hmm...Sangat cantik," Alvan memuji. Menatapku mesra. "Rasanya aku jatuh cinta lagi padamu."
Aku tergelak. Memberinya sebuah pelukan di pinggang. Tubuhnya setinggi Pak Hans. Bahkan sekilas aku melihat kemiripan di wajah mereka. Suara merekapun hampir sama. Hanya saja kulit Alvan lebih putih dari kulit Pak Hans. Rambutnya lebih hitam bila dibandingkan rambut pak Hans yang sudah mulai beruban.
Huft...! Aku mendengus. Mengapa pula aku malah membandingkan Alvan dengan Pak Hans? Apa yang kupikirkan?
Belakangan ini aku bahkan secara diam-diam mulai menanti telepon dan SMS-SMSnya. Akupun jadi lebih rajin datang ke tempat kerja. Berangkat lebih pagi karena ingin cepat-cepat bertemu dengannya. Diam-diam aku menikmati perhatian yang diberikannya padaku. Kedewasaannya membuatku nyaman. Sikapnya yang seolah selalu ingin melindungiku membuatku merasa aman.
Tidak! Kusingkirkan pikiran itu dengan cepat. Kupeluk pinggang Alvan lebih erat. Aku tak mau hanyut oleh pikiran yang terbagi. Aku memiliki Alvan dan aku sangat mencintainya. Pria di sampingku inilah yang telah mengisi ruang hatiku. Tak ada tempat lagi untuk orang lain termasuk Pak Hans.

Tapi benarkah begitu? Nyatanya ketika aku melangkahkan kaki memasuki rumah Alvan, lagi-lagi pikiranku melayang dan berhenti pada ponselku yang sengaja ku tinggal di rumah. Apakah Pak Hans meneleponku? Ataukah saat ini dia sedang cemas karena aku tak membalas SMSnya? Ah...mengapa pikiranku jadi konyol begini? Pikiranku menjadi gelisah. Detak jantung berpacu lebih cepat dari sewajarnya saat kakiku melangkah makin masuk ke dalam rumah Alvan.
"Papa sengaja menyempatkan diri datang kesini karena ingin berkenalan dengan calon menantunya."Alvan menggenggam tanganku dan berbisik. Melangkah pelan di sampingku.
"Kamu khan tahu jika orang tuaku sudah bercerai sejak aku duduk di bangku SMU?"
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Alvan. Dia memang pernah bercerita tentang keluarganya yang broken home. Tentang kedua orang tuanya yang terpaksa berpisah karena sudah tidak menemukan lagi kecocokan dalam berumah tangga. Namun meski begitu, konon menurut Alvan, hubungan kedua orang tuanya pasca perceraian tetap baik. Karenanya Alvan tak merasakan benar-benar kehilangan sejak Orang tuanya berpisah.

"Arini?" Seorang wanita cantik berkulit putih bersih menyambut kedatangan kami dengan wajah sumringah. Suaranya lembut.
"Benar, tante," Aku mengangguk sopan, tersenyum padanya.
"Cantik sekali," Mama Alvan memelukku hangat. Hai, aku suka dengan keramahannya. Kurasa aku bisa diterima di keluarga ini. Aku langsung jatuh hati pada sikap mama Alvan yang hangat.
"Ehem!" Sebuah suara berat berdehem, meminta perhatian kami. Mama Alvan melepas pelukannya.
"Arini, kenalkan...papanya Alvan," Mama Alvan memperkenalkan aku pada pria itu. Aku terkesiap melihatnya. Begitu pula pria tersebut. Ada ekspresi terkejut yang samar tersirat di wajahnya. Tubuh tegapnya berdiri di hadapanku. Kuangsurkan tanganku dengan canggung. Dia menggenggamnya dengan erat.
"Arini," kataku memperkenalkan diri.
"Hans."
Hampir pingsan aku mendengarnya. Namun Pak Hans menggenggam tanganku lebih erat, tersenyum padaku penuh misteri. Saat kuberanikan diri memandangnya, matanya berkedip padaku. Oh my God!


-SELESAI-

Sabtu, 05 Februari 2011

Catatan Terakhir Untuk Kekasih

"Sayang...
Kutulis catatan ini untukmu. Ketika hatiku telah menjadi abu. Seusai api emosi membakar dan meluluhlantakkan asa yang menjadi pondasi cinta kita. Kutuliskan cerita ini untukmu. Tak ingin memaksamu untuk lebih mengertiku. Hanya sekedar menorehkan kisah yang kau pinta. Membayar lunas janjiku padamu.

Masih membekas dalam ingatan. Meski telah berusaha ku enyahkan. Ketika pertama kali ku mengenalmu. Hanya sebatas nama karena kita bertemu dalam dunia yang semu. Dunia yang takkan bisa membuat kita saling menatap. Hanya lewat aksara yang kita rangkai menjadi untaian kata. Ku terka wajahmu sebisa mungkin anganku melukisnya. Karena foto yang kulihat di profilmu hanya sebuah siluet wajah dalam lukisan. Namun begitu aku mengagumimu. Aku suka candamu. Suka membaca setiap tulisan yang kau update di status facebookmu. Kadang aku tak bisa temukan celah untuk ikut mengomentarinya, karena terlalu banyak temanmu yang berkomentar di situ. Tapi minimal aku tak pernah lupa tuk memberi tanda 'suka' di setiap coretanmu. Selain karena memang aku menyukai semua tulisanmu, aku juga ingin kau menyadari kehadiranku.

Sayang taukah kau...
Sehari menjelang malam Tahun Baru itu, saat kau nyatakanperasaanmu padaku, aku tak menemukan rasa lain selain bahagia. Memang benar pada awalnya aku tak percaya padamu. Karena yang ku tau kau orang yang suka bercanda. Kau hampir tak pernah mengatakan hal yang serius tiap kita bertukar sapa di beranda. Di setiap kalimat, kau selalu sisipkan canda. Sampai-sampai ketika kau bilang cinta, aku masih tertawa. Kuanggap itu sebagai humor yang paling lucu darimu. Karenanya saat hari itu kau bilang cinta padaku,akupun dengan enteng mengatakan hal yang sama. Sekali lagi karena kuanggap itu sebagai bagian dari kejahilanmu semata.
Namun tak kusangka kau mendadak murka melihatku yang menertawakan hubungan kita. Saat itulah baru kusadari jika kau sedang serius.

Kau marah padaku. Kau anggap bahwa cintaku palsu. Kau anggap aku sebagai seorang penipu!
Aku tercengang melihat perubahan sikapmu. Tanpa mau menunggu penjelasan dariku, kau menjauh. Ingin rasanya kubiarkan kau begitu. Membiarkanmu lepas dari hidupku. Toh aku tak mengenalmu secara nyata. Satu kalipun kita belum pernah bertatap muka. Aku tak mau ambil pusing. Dalam benak aku berpikir, Jika sebelumnya aku bisa hidup tanpamu, maka saat itupun ku yakin bisa menjalani hidupku sama seperti saat ku belum mengenalmu.

Namun sayangku, ketika waktu kemudian menyiksaku dengan kesunyian tanpa candamu, diam-diam aku merindukanmu. Diam-diam kusadari betapa pentingnya kau untukku. Aku butuh kamu! Saat itulah aku tahu apa yang ada di hatiku. Ada benih cinta yang kau tanam di situ dan telah tumbuh menjadi tunas yang membutuhkan siraman kasihmu agar terus tumbuh.
Kusingkirkan gengsi, akupun mencarimu. Membuka profilmu kembali. Masuk ke dalam inboxmu. Mencurahkan isi hatiku. Penyesalanku. Kerinduanku. Tentang cinta itu. Ternyata rasa itu nyata dan tak palsu...
Aku tak henti mengucap syukur ketika kau membalas inboxku. Meski awalnya masih ada sisa amarah di setiap kalimat yang kau tulis, namun aku terus berusaha tuk meyakinkanmu. Tak ada yang kupikirkan saat itu selain aku tak mau kehilanganmu.
Ternyata usahaku tak sia-sia. Kau sambut kembali cintaku. Kau rajut kembali jalinan rasa yang telah terputus. Kau tanam hatiku dengan bunga-bunga bahagia.

Oh sayang,
Sejak itulah warna hidupku tak hanya kelabu. Ada warna warni baru yang menyelimuti hari-hariku. Aku yang sebelumnya pernah terluka oleh cinta, kau sembuhkan dengan kasihmu. Kau lindungi aku dengan perisai cintamu.
"Kadang aku anggap hubungan ini biasa az gtu...tpi rasanya kya garam di tengah di dalam sirup. Larut kagak, kering juga nggak. Aku mulai takut kehilangan kmu..." kau tulis itu dalam inbox menjelang malam saat kita sedang online di jam yang sama. Kau sukses membuatku melayang-layang bahagia saat membacanya.
Tak sebatas lewat dunia maya, kitapun berkomunikasi lewat media ponsel. SMS dan teleponmu rajin menyapaku tanpa kenal waktu. Kadang kita ngobrol hingga larut malam. Wow ! Terima kasih atas kebaikan provider ponsel kita yang memberi fasilitas telepon murah hingga kita bisa leluasa ngobrol tanpa khawatir kantong jebol, hehehe...
"Apabila aku disuruh memilih antara cinta dan kamu, maka aku memilihmu, " katamu saat kita ngobrol di telepon di suatu malam.
"Apa bedanya ?" tanyaku.
"Karena kamulah cinta."
Tak kusangka dibalik canda-tawamu kau seorang yang lebih dari sekedar romantis. Kau hujani aku dengan kata-kata yang membuai dan membelai-belaiku hingga aku merasa sangat terpuja.

Kuabadikan setiap cerita yang kita lewati bersama dalam catatan-catatanku di media facebook. Kutuangkan setiap tetes rasa di situ. Saat rindu padamu ataupun saat kita berhadapan dengan konflik sehingga jarakpun merenggang. Kuikat semua cerita kita dalam catatan. Kuingin dunia tahu dan menyaksikan setiap jejak perjalanan kita.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu bisa membuat cerita?" Kau bertanya setelah membaca catatanku.
"Perlukah?"
"Apa kamu tak punya cita-cita dari hobbymu itu,Say?"
"Aku ingin menulis sebuah novel," jawabku meski dalam hati masih meragukan potensiku. Mendengar jawabanku, kaupun menyambutnya hangat dan antusias. Kau memacu semangatku. Memberi dukungan sepenuhnya agar aku bisa meraih cita-citaku itu.
Aku bahagia. Puas dengan sikapmu itu. Kau seorang kekasih yang tak hanya pandai merayu dengan kata-kata puitis, namun juga memberi dukungan positif demi kebaikanku.

Kekasihku, kau membuatku semakin menyayangimu. Membuatku ingin menyatukan bunga-bunga rindu yang telah kita rangkai dalam kisah yang nyata. Tak puas hanya lewat tulisan dan suara, kitapun sepakat untuk mempertemukan raga kita.

Di suatu malam kau kejutkan aku dengan kedatanganmu yang tiba-tiba. Aku terpana melihatmu yang telah berdiri di depanku. Bukan karena parasmu yang ternyata lebih tampan dari yang kubayangkan, namun karena adanya setangkai mawar merah yang kau selipkan dijemariku. Bunga favoritku. Pipiku merona semerah kelopak mawar yang kugenggam.Malam itu menjadi malam terindah untukku. Kita bercanda, bicara meski masih tersipu-sipu. Malam yang sempurna itupun berakhir saat tiba waktunya untukmu pamit pulang. Jarum jam dinding sudah menunjuk angka sepuluh.
Kuantar kau hingga di tepi jalan depan rumah. Satu senyuman kau tinggalkan untukku. Dan itu cukup membuatku semalaman tak bisa mengingat yang lain selain senyummu.

Pertemuan sabtu malam itu bukanlah akhir, melainkan awal dari pertemuan-pertemuan berikutnya. Tak ada malam minggu yang terlewat tanpamu. Bahkan tak jarang kita menjelajah kota di kesunyian malam. Hanya untuk menikmati waktu berdua.
"Kamu ingin aku menikahimu, say?" Kau bertanya kala di suatu malam kita habiskan waktu di sebuah warung lesehan di alun-alun kota kita. Sembari menikmati secangkir kopi susu di bawah atap langit yang berbintang.
"Tidak," Aku menggeleng. "Aku tak ingin menikah denganmu."
Kau tertawa mendengar jawabanku.
"Kenapa tidak?" Kau bertanya lagi. "Apa keinginanmu, sayang?"
Aku terdiam tanpa jawaban. Aku tak bisa mengurai kata untuk menjawabnya. Ada sebuah alasan yang tertanam di benak, namun lidah seakan tak mampu menyampaikannya.
Ditengah keheningan, tiba-tiba ada SMS masuk ke dalam ponselmu. Setelah kau baca, kaupun langsung membalasnya. Tak hanya sekali. SMS itupun berbalas beberapa kali. Aku membisu. Tak hendak memprotes ataupun mengeluh. Meski ku tahu dari siapa pesan masuk itu. Pasti dari temen-temen wanitamu yang kau kenal dari dunia semu sama seperti kau mengenalku.
Andai kau tau sayang, itulah jawaban atas pertanyaanmu. Aku takut menyulam harap padamu karena terkadang aku masih tak pahami jalan pikiranmu. Tak bisa menebak apa yang kau inginkan. Meski kita telah menjadi sangat dekat, namun kau masih tertutup selimut misteri. Kadang sikapmu tak dapat kubaca.
Aku menyadari di media tempat kita bertemu, kau adalah figur yang cukup di kagumi. Tak sedikit teman wanitamu yang salah mengartikan perhatianmu. Sehingga tak sedikit pula yang jatuh cinta padamu. Aku tak mengerti apa yang ada di hatimu. Yang ku tahu kau memperlakukan mereka hampir sama dengan apa yang kau lakukan padaku. Dan kau tampak sangat menikmati semua itu.
"Playboy," pernah ku katakan itu padamu. Kau tak menyangkal. Justru terbahak menanggapi ucapanku.
"kamu cemburu, Sayang?" tanyamu sambil membawaku dalam pelukan.
"Kalau iya gimana?" Aku bertanya kembali. Kau tersenyum.
"Aku tak butuh cemburu. Sudah overload. Aku hanya ingin bercinta. Menikmati cinta," jawabanmu membuat hatiku ngilu. Apa itu? Bagaimana mungkin kau menolak cemburuku sementara aku mencintaimu? Bagaimana bisa begitu? Namun aku tak ingin berdebat. Percuma. Kau punya sejuta argumen yang bisa mematahkan pendapatku. Aku mengakui jika otakmu lebih encer daripada aku. Tak jarang aku merasa minder dan lebih bodoh setiap bicara denganmu.

Aku harus mengikuti sistemmu. Seharusnya begitu agar semua berjalan tanpa pertengkaran. Perlahan kubunuh rasa cemburuku. Tak ingin kusimpan rasa itu lagi. Kamu tak membutuhkannya, maka aku tak mau repot-repot menyiksa diri sendiri dengan perasaan itu. Itulah aku! Yang akan berusaha membuatmu bahagia meski untuk itu perasaanku terluka. Walau kau tak pernah menyadarinya.

Sayangku...
Ini adalah catatan terakhirku untukmu. Kutulis ini kala kau telah membawa pergi cintamu. Setelah malam itu kita berselisih paham. Kita bertengkar habis-habisan hingga tercetus kalimat "selamat tinggal" dari bibirku. Kau tak berusaha menahan niatku yang ingin mengakhiri semuanya. Api emosi telah membutakan mata hati kita. Semua berakhir begitu saja. Hati yang telah susah payah kususun untukmu, remuk dalam hitungan menit.
Kan kukumpulkan serpihan hatiku. Biarlah kau kan menjadi bagian dari masa laluku yang tetap berselimut misteri. Meski penyesalan terkadang menghantuiku, karena langkah kita terhenti oleh kepala yang tertutup emosi, namun kan ku biarkan semua tetap begini. Hingga suatu saat nanti kau akan menyadari betapa aku ini berarti..."

Menyibak Kabut Masa Silam

It's my life
It's now or never
I ain't gonna live forever
I just want to live while I'm alive
(It's my life)...


Suara Bon Jovi memekik lantang. Menyanyikan lagu kesukaanku yang kujadikan sebagai nada dering HPku. Ada nama Vaya muncul di layar HP. Namun aku tak bergeming dari tempat tidur. HP yang tergeletak tak jauh dariku tak kusentuh sedikitpun. Aku benar-benar tak ingin bicara dengan Vaya, adik semata wayangku itu. Karena aku bisa menebak apa yang hendak dibicarakannya denganku. Pasti tentang mama yang saat ini sedang sakit keras. Pasti Vaya ingin membujukku agar mau pulang ke Semarang secepatnya karena mama mengharapkan kehadiranku.

Mama...
Kupejamkan mataku rapat-rapat. Wajah renta mama terlihat lelah. Namun masih terlihat cantik di usia tuanya. Wajah itu tergambar jelas dalam pejamku. Aku rindu melihatnya tersenyum. Satu, dua, ku hitung waktu. Ya Tuhan, ternyata sudah dua puluh tahun aku tak lagi melihat senyumnya. Aku tak bisa melihatnya karena dua puluh tahun aku menjauhinya. Tak sekalipun pernah pulang ke pelukannya. Peluknya yang hangat. Yang mampu memberi ketenangan yang luar biasa disetiap rapuhku. Pelukan yang teramat erat kala aku terpuruk dalam kegagalan sekolahku.

"Tak ada orang yang berhasil tanpa mengalami kegagalan terlebih dahulu. Saat ini mungkin kamu belum berhasil lulus ujian, namun jika kamu mau belajar dari kegagalan ini, mama yakin kamu akan berhasil dalam ujian tahun depan."

Dengan suara yang lembut dan sarat kasih, mama membelai-belai rambutku. Aku terbenam dalam peluknya tanpa mengucap sepatah katapun.
Tak seperti Orang tua lainnya yang mungkin akan marah jika mengetahui anaknya tak lulus ujian di sekolah, mama justru memberiku kesabaran dan kelembutan yang menguatkan aku. Tanpa amarah ataupun omelan sedikitpun. Mama sungguh sangat luar biasa. Suara lembutnya mampu membuatku kembali bangkit. Meski saat itu aku sudah kehilangan semangat untuk melanjutkan studyku.
Namun sesungguhnya aku tak mau disalahkan seratus persen atas kegagalanku itu. Itu bukan tanggung jawabku sepenuhnya. Ada yang seharusnya lebih bertanggung jawab atas semua itu. Orang yang saat itu hanya menyeringai melihat kegagalanku. Padahal dia yang membuat konsentrasi belajarku menjadi kacau. Dia yang membuat aku bersumpah untuk tidak kembali ke rumah itu lagi setelah kuputuskan untuk pindah ke rumah Budhe yang merupakan kakak tertua almarhum Papa di Surabaya. Mengulang kelas di sebuah SMP swasta di ibukota propinsi Jawa timur itu.
Hingga kini kuputuskan untuk menetap di kota ini. Bahkan mama tak ku beri alamat Apartemenku karena aku tak ingin mengingat masa laluku lagi.Aku bener-benar ingin menghilang dari masa buruk itu.

***

Rupanya Vaya sudah berhenti 'menerorku' dengan teleponnya. Tampaknya dia sudah menyerah. Tak terdengar lagi suara Bon Jovi dengan lagu It's my lifenya. Kuambil ponselku yang diam membisu. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Vaya dan satu SMS. Kubaca pesan masuk itu :

"Mama benar-benar merindukan kakak. Pulanglah,Kak! Meski kepulangan kakak tak bisa menyembuhkan penyakit mama, namun setidaknya kakak bisa membuatnya tersenyum sebelum terlambat dan kakak menyesalinya..."

Air mataku benar-benar tumpah saat kubaca SMS dari Vaya itu. Mataku terpejam lagi. Sekelebat bayang mama hadir dan membuatku ingin cepat-cepat berlari pulang ke kota kelahiranku. Namun sekejap kemudian wajah mama terganti dengan seraut wajah orang yang sudah kumasukkan dalam daftar hitam di memori otakku. Wajah dengan senyum licik dan tatapan liar yang membuatku mual. Parut luka dalam hati terasa sakit lagi. Mencabik-cabik dada. Menyesakkannya. Sampai kapanpun aku tak akan pulang sebelum orang itu mati!

***

"Kamu sedang tak enak badan?" Glen menatapku cemas. Dilihatnya nasi goreng di depanku yang sedari tadi utuh tak tersentuh. Aku menggelengkan kepala.
"Ada sesuatu yang kamu pikirkan?" Glen bertanya lagi dengan kekhawatiran yang sama.
"Mamaku sedang sakit keras," Jawabku sambil menundukkan kepala. Pikiranku tenggelam dalam ingatan tentang mama.
"Aku ikut prihatin," ujar Glen tulus. "Boleh aku tahu, beliau sakit apa?"
"Kanker rahim stadium akhir."
"Astaga!" Glen terperanjat. "Kamu tak pulang ke Semarang?"
Aku terdiam. Tak tahu harus memberi jawaban apa pada cowok manis di depanku ini. Jika aku menggeleng, dia pasti akan merasa heran dan bertanya mengapa aku tak pulang di saat kondisi mama sedang kritis. Namun aku juga tak bisa bilang 'iya' karena hingga saat ini aku tetap dengan pendirianku untuk tidak pulang.
"Kalau masalah pekerjaan, kamu bisa ambil cuti. Bos pasti akan mengerti." Glen berusaha meyakinkanku. Namun sungguh bukan itu masalahnya, Glen! tukasku dalam hati. Kalau saja tak ada "monster" itu, aku pasti sudah pulang dari kemarin-kemarin. Dengan atau tanpa izin atasan.

Ditengah kebisuan kami, tiba-tiba HP Glen berbunyi. Sekilas aku meliriknya. Glen melihat layar HPnya lalu tersenyum sambil menekan beberapa tombol keypad, mengetik beberapa kalimat.
"Dari Shela?" Aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku.
"Iya," jawab Glen ringan setelah mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana panjangnya. "Nanti malam dia mengajakku makan malam. Hari ini dia ulang tahun. Aku sudah menyiapkan kado istimewa untuknya." Mata Glen berbinar saat mengatakannya.
"Kado apa itu?" tanyaku penasaran.
"Cincin..."Glen tersenyum lebar. "Malam ini aku akan melamarnya."
Aku terhenyak. Mulutku terbungkam erat. Dadaku terasa nyeri. Aku merasa dinding-dinding dalam ruang hatiku roboh dan remuk seketika. Glen elamar Shela? Itu wajar. Mereka sudah hampir tiga tahun berpacaran. Yang tidak wajar adalah perasaanku pada Glen. Ingin rasanya menangis saat itu juga. Namun aku sadar ini bukan tempat yang tepat untuk itu. Berpuluh pasang mata di cafe ini pasti akan langsung melihat dan mencibirku bila kukeluarkan air mataku sekarang.
Cinta yang selama ini kusmpan rapi dalam hatiku, kini menusuk-nusuk dalam dada. Cinta yang tak bisa ku sampaikan padanya. Karena tanpa ku katakanpun aku sudah tahu apa jawabannya. Glen takkan mungkin punya rasa yang sama denganku. Sekalipun dia belum memiliki kekasih secantik Shela, Glen takkan mungkin bisa membalas perasaanku.

"Hey...kok diam?" Suara Glen mengagetkanku. Kupaksakan sebuah senyum sambil menatap wajahnya. Hanya sekilas lalu kupalingkan mukaku. Oh Tuhan, aku tak sanggup melihatnya. Hati yang hancur membuatku menjadi orang yang tak berdaya. Tak kuasa menatap matanya, Aku takut Glen melihat mataku dan membaca isi hatiku. Dia tak boleh tahu tentang perasaanku. Tidak boleh! Aku tak mau dia membenciku dan menjadi muak padaku.
"Wajahmu pucat," Glen benar-benar sedang menatapku dengan matanya yang setajam mata burung elang. Aku tak sanggup lagi. Akupun beranjak dari kursi.
"Aku kembali ke kantor dulu. Sepertinya aku memang sedang tak enak badan."
"Oh...Baiklah. Kamu duluan saja. Biar nanti aku yang bayar ke kasir."
Aku hendak mengambil dompetku di saku, namun Glen buru-buru mencegah.
"Hari ini akuyang traktir."
Aku mengangkat bahu. Tak ingin berdebat,"Ok...Besok ganti aku yang traktir,"tukasku.
Glen menjawab dengan senyum. Aku buru-buru beranjak dari situ. Aku tak sanggup lebih lama lagi berada di dekatnya.

***

Vaya menyambutku dengan pelukan saat melihatku muncul di ambang pintu. Tangisnya tumpah di dadaku. Kupeluk bahunya dan iapun semakin erat mencengkeram pinggangku. Sejenak kami larut dalam kesedihan yang sangat.
"Mama sudah dimakamkan tadi pagi," suara Vaya terdengar lirih di antara isak, masih dalam dekapanku. Butiran air mata merembes di pipiku. Aku tahu kalau aku sudah terlambat sejak semalam kuterima SMS dari Vaya yang mengabarkan tentang kematian mama. Bila pada akhirnya aku putuskan untuk pulang ke kota ini lagi, semata karena Vaya yang mendesakku. Aku tak tega melihatnya sebatang kara dan menanggung kesedihan seorang diri. Kali ini aku ingin menemaninya.
Kutepiskan egoku. Kusingkirkan sejauh mungkin sakit hatiku. Sekarang Vaya sangat membutuhkanku. Hanya aku yang dimilikinya saat ini. Meskipun Vaya tak tinggal seorang diri di rumah ini. Namun aku tahu jika orang yang tinggal bersamanya bukanlah orang yang bisa diandalkan. Orang yang selama ini kusebut 'monster' dan menjadi satu-satunya orang yang ku benci di dunia ini.

"Lho...KOk nggak masuk?" Suara itu! Tiba-tiba darahku menggelegak. Tubuhku bergetar menekan kebencian yang tiba-tiba menguasaiku. Suara yang sangat ku kenal.
"Kakak baru datang dari Surabaya,Pa,"Vaya melepas pelukannya dariku. Lelaki yang dipanggilnya dengan sebutan 'papa' itu berdiri tegak di depanku. Dengan wajah tanpa dosa. Seolah dia tidak menyadari jika perbuatannya pada dua puluh tahun yang lalu itu telah menorehkan luka yang sedemikian dalam di hatiku. Yang membuatku bertekad untuk tidak kembali lagi ke rumahku.
"Kenapa nggak di ajak masuk?" Pria itu menatapku lekat. Sambil tersenyum. Seketika perutku menjadi mual melihat senyumnya.
"Ayo kak...Aku antar ke kamar kakak." Vaya menggamit lenganku. Aku mengikuti langkah Vaya tanpa bersuara ataupun melihat ke arah 'monster' itu. Pram, lelaki itu diam saja melihat sikapku yang dingin dan angkuh. Aku ingin dia tahu jika aku bukanlah bocah dua puluh tahun yang lalu.Dan sekarang ini dia hanyalah seorang kakek tua yang takkan bisa melawanku.

*

Tak banyak yang berubah dari kamarku. Barang-barangku masih terawat dan tertata rapi. Perabotannya tak bergeser sedikitpun. Seolah-olah mama benar-benar menunggu kepulanganku.
Ah...Hatiku berdesir saat melihat sebuah foto yang terpasang di salah satu dinding kamar. Foto mama yang sedang memelukku ketika aku masih berseragam putih biru. Usiaku baru lima belas tahun saat itu. masa yang seharusnya kulewati dengan ceria bersama teman-temanku. Namun kenyataannya aku justru melaluinya dengan kesendirian, kehampaan, kebencian dan amarah. Semua gara-gara luka yang ditikamkan Pram padaku. Hidupku menjadi berubah. Aku yang sebelumnya ceria berubah menjadi pendiam dan pemarah.
Sampai kini aku masih membawa luka yang tak tersembuhkan itu. Aku berlari dan bersembunyi dalam kesibukanku sebagai manager di salah satu perusahaan besar. Secara finansial, kehidupanku sudah mapan. Aku tinggal di sebuah apartemen mewah di Surabaya. Kemana-mana aku pergi dengan mengendarai kendaraan roda empatku. Karierku cemerlang. Wajahkupun sebenarnya tidak jelek. Bahkan aku mewarisi wajah bule nenekku, ibu dari Papa yang berasal dari Italia.
Tak sedikit lawan jenis yang ingin menjadi pendamping hidupku. Namun aku tak bisa membuka hatiku pada mereka. Itulah sebabnya hingga usiaku yang sekarang sudah menginjak angka tiga puluh lima tahun, tak terpikir sedikitpun di benakku untuk berumah tangga.

Huff... Aku menghela nafas berat. Tiba-tiba ingatanku kembali pada mimpi buruk duapuluh tahun silam. Ketika tiba-tiba mama pulang ke rumah dengan seorang pria. dua tahun mama bertahan dengan kesendirian sejak papa meninggal karena kecelakaan mobil yang dikendarainya. Jika pada akhirnya mamamengenal dan jatuh cinta dengan seorang pria, aku tidak keberatan. Mama berhak bahagia. Akupun sebagai anak tunggal, terkadang juga merasa kesepian.
Pram!Itunama yang dia sebut waktu dia mendekatiku dan memperkenalkan dirinya. Tangannya terulur dan senyumnya langsung memikat hatiku. Ku sambut uluran tangannya dan diapun menggenggamnya erat. Akupun langsung memberi nilai delapan untuknya sebagai calon ayahku.

Sejak mama memutuskan untuk menikah dengan Pram,aku merasa hidupku menjadi sempurna. Kehadiran Pram mampu melengkapi hidupku yang kosong dan merindukan seorang ayah. Pram sangat memanjakanku. Bahkan terkadang melebihi perhatian mama padaku.Tak jarang dia tiba-tiba memeluk dan menggodaku dengan kerlingan nakal. Namun aku menganggap itu sebagai bentuk kasih sayang, terlebih aku adalah satu-satunya anak buat mama dan Pram. Tampaknya mama juga senang melihat kedekatan kami. Saat itu aku benar-benar bahagia. Kebahagiaan itu kian lengkap ketika mama hamil dan melahirkan Vaya.
Namun kesempurnaan itu tidak bertahan lama. Padasuatu siang sepulang sekolah kudapati rumah dalam keadaan sepi. Pram menyambutku hangat membuka pintu. Aku heran melihatnya di rumah pada jam kerja. Mamapun tak terlihat di rumah.
"Mama dan Vaya pergi ke Kudus menjenguk tante Aira yang kemarin melahirkan," Seaakan bisa membaca pikiranku, Pram menjelaskan tanpa kutanya. "Aku sedang tak enak badan, makanya aku izin pulang lebih cepat."
Lagi-lagi Pram bisa menebak apa yang kupikirkan. Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Pram mengekor di belakangku. Aku bersikap tak acuh, karena dia sudah terbiasa masukke dalam kamarku.
Saat aku membuka kancing kemeja seragamku, tiba-tiba Pram memelukku dari belakang. Nafasnya yang panas terdengar jelas di telinga. Dalamkeadaan terkejut, aku berusaha mendorong tubuhnya. Tapi tentu saja kekuatanku sebagai bocah lima belas tahun tak sebanding dengannya. Tuuhnya lekat menempel di tubuhku. Tak bergeser sedikitpun meski aku sudah berusaha memberontak.
"Jangan menolak!" Pram berbisik di telingaku dengan nafas yang memburu. "Sejak pertama melihatmu, aku menginginkanmu."
Aku diam dengan tubuh menggigil. Ketika tangannya mulai meraba menggerayangiku, aku tak bisa bergerak. Hanya hatiku yang menghjat menyumpahinya. Detikitu juga simpatiku padanya berubah menjadi amarah bahkan benci. Aku mengutuknya kala lelaki biadab itu berhasil mendapatkan keinginannya. Tak peduli meski aku harus membayarnya dengan air mata yang terus mengalir deras menahan sakit dan dendam yang luar biasa menikam.

***

Aku nyaris terlonjak kala sebuah ketukan halus mengembalikan kesadaranku darilamunan masa silam.
"Masuk, Vay!" Seruku tanpa beranjak dari tempat tidur. Pintu terkuak pelan. Aku melompat dari tidurku saat kulihat bukan Vaya yang muncul seperti dugaanku.
Pram masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Tiba-tiba rahangku mengeras. Jemariku mengepal melihat sosok orang yang selama ini ku anggap sebagai "monster" datang memasuki kamarku.
"Aku bawakan kopimu ke sini karena ku pikir kau mungkin terlalu capek untuk keluar kamar,"Pram bicara tanpa kutanya. Meletakkan nampan berisi kopi di atas meja.
"Mana Vaya?" Tanyaku dingin.
"Sedang keluar membeli lauk makan malam." Pram menutup pintu kamar. Aku mencium gelagat tak baik dari sikapnya.
"keluar!!" Bentakku. Sejenak Pram tertegun mendengar suaraku yang keras. Tapi kemudian dia menyeringai. Menunjukkan senyumnya yang membuatku muak. Sekilas mataku menangkap sebuah benda berkilat yang di selipkan di balik saku celananya. Sebuah pisau!
"Apa maumu?" Kutatap matanya penuh benci. Lelaki tua itu melangkah mendekat. Aku tak sempat menghindar kala pisau di tangannya ditodongkan kepadaku.
"Selama ini aku menunggumu." Ujung pisau menyentuh pipiku. Dingin. "Aku sedikit terkejut melihat penampilanmu yang sekarang. Wajah indomu sangat mempesona. Aku ingin mencumbumu seperti dua puluh tahun lalu." Pram terkekeh. Aku semakin muak mendengar tawanya.
"Dasar binatang!" Umpatku.
Pram mengangkat daguku, menempelkan pisau di leherku dan tersenyum licik.
"Aku menginginkanmu..." Wajah Pram mendekat ke wajahku. Bibirnya menyentuh bibirku. Rasanya isis perutku memberontak. Ingin muntah. Namun sepertinya Pram menikmatinya. Tangannya mulai meraba ke seluruh bagian tubuhku. Melucuti kancing kemejaku satu persatu. Aku berdiri mematung dengan tubuh menggigil menahan kebencian yang kembali merasukiku. Mataku tak berkedip menatap ujung pisau yang masih tertodong di leherku.

Tiba-tiba pintu kamar terkuak!
Vaya berteriak histeris melihat kami. Pram terkejut melepas tangannya yang berusaha membuka ikat pinggangku. Melihat Pram lengah aku berusaha merebut pisau di tangannya. Namun dengan sigap Pram berusaha mempertahankannya. Terjadi pergelutan di antara kami memperebutkan pisau itu.
"Kali ini aku takkan menyerahkan diriku padamu. Kamu salah jika menilaiku seperti bocah dua puluh tahun lalu."
Jleb! Mataku menghujamnya dengan sorot kebencian yang selama ini bersemayam di hatiku. Pram terhuyung sambil memegangi perutnya. Tanganku terasa hangat dan basah. Warnanyapun menjadi merah. Penuh dengan darah Pram yag keluar saat pisau menancap di perutnya. Pram sempat melihat mataku yang berlumuran dendam sebelum pada akhirnya tubuhnya ambruk meregang nyawa diiringi jeritan Vaya yang menggema di kesunyian malam.

*****

Aku terpekur diam di sudut dinding yang lembab dan dingin. Dendamku telah berakhir. Rasa benci itu telah kuleburkan pada Pram kala kutancapkan pisau di perutnya.
Sudah...! Semua sudah terbalas. Sudah kupaksa Pram untuk bertanggung jawab atas perbuatannya padaku. Sekarang akupun telah bertanggung jawab atas perbuatanku di balik jeruji besi ini. Namun aku tak bisa mengembalikan nyawa Pram. Begitu pula Pram yang tak bisa mengembalikan hidupku yang telah terbuang dalam trauma yang kurasakan sepanjang waktu. Trauma yang membuatku memilih untuk hidup melajang hingga di usiaku kini. Yang membuatku tak pernah mengenal apa itu cinta.

Tiba-tiba bayangan Glen berkelebat. Hanya pada Glen aku bisa merasakan rasa itu. Kelembutan Glen mampu membuka hatiku. Namun cinta itu berlabuh pada orang yang salah. Aku takkan pernah bisa memilikinya. Bahkan untuk mengatakan perasaanku padanyapun aku tak bernyali. Dia takkan bisa memahami hatiku.
Sungguh ini bukan pilihanku. Ini bukan keinginanku. Rasa itu hadir tanpa ku pinta. Hanya pada Glen aku bisa merasakannya. Tak bisa pada yang lain.
Lalu untuk apa lagi kupertahankan nafasku? Glen akan segera menikah dengan wanita pilihannya. Apalagi yang ku cari dalam hidupku?

Pikiranku membeku. Kabut di depan mata menjadi kian gelap. Tiba-tiba kulihat sinar mengerling di sudut dinding. Kuamati kilau yang berasal dari benda tipis itu. Untuk terakhir kalinya otakku bekerja. Tangan kananku meraih benda yang ternyata sebuah lempengan logam mirip silet.
Dalam hitungan detik mendadak pandanganku menjadi gelap. Kurasakan jiwaku yang melayang lepas meninggalkan jasad yang roboh diatas lantai yang dingin. Pergelangan tangan kiriku terkulai dengan nadi yang tersayat. Darahpun menggenang kental.
Sayup kudengar suara-suara panik berteriak sebelum aku benar-benar meninggalkan dunia.
"Ada yang bunuh diri...! Di blok pria nomer sepuluh. Terpidana kasus pembunuhan, namanya Aldi Ferdiansyah!"


-S E L E S A I-

Kamis, 27 Januari 2011

Pacar Bohongan

"Kamu mau nggak jadi pacarku?"
Aku mendongak seketika. Dalam hitungan detik mengalihkan tatapanku dari kumpulan soal-soal matematika yang sedari tadi menguras pikiran. Aku celingukan ke kanan, ke kiri, bahkan menoleh ke belakang. Tak ada siapapun, hanya ada aku dan Kay yang sekarang sedang duduk di depanku.
Kupandang wajah gantengnya yang tengah menatapku lekat. Matanya tampak serius. Dia benar-benar sedang bicara denganku! Tapi aku menggeleng cepat. Tidak! Ini pasti mimpi. Kucubit lenganku. Auw! Aku mengaduh. Kay mengulum senyum menertawakan tingkah konyolku
"Sakit?" Dia pasti meledekku. Aku tersenyum kecut menutupi rasa malu.
"Enggak," jawabku cuek. Lalu kembali memelototi soal-soal matematika di depanku. Jam istirahat kali ini terpaksa kuhabiskan di kelas untuk mengerjakan PR matematika yang lupa kukerjakan. Gara-gara kemarin aku keasyikan jalan ke Mall bersama Meta, sahabat yang juga teman sebangkuku.
"Haloooo..."
Astaga! Aku lupa kalau Kay masih duduk di depanku.
"Eh...kamu masih di sini?" Aku masih memasang tampang cuek. Padahal sungguh hatiku sedang berlompatan saat ini. Berada sedekat ini dengan salah satu cowok idola di sekolahku adalah impian semu gadis di sekolah ini. Kecuali aku. Dalam mimpi pun aku nggak berani membayangkannya. Karena kalau aku nekat ikut 'beraksi' di depan Kay -seperti cewek-cewek yang lain- sama saja dengan pungguk yang mencari perhatian bulan. Aku cukup tahu diri untuk tidak ikut berkompetisi memperebutkan sang idola.
Sebenarnya aku nggak jelek-jelek amat sih. Bahkan sampai saat ini, Fendy masih mengharapkan aku untuk jadi pacarnya. Menurut beberapa teman, aku cukup cantik. Bahkan ada yang bilang manis. Meski terkesan cuek, tapi aku ramah dan asyik buat berteman. Dan kalau boleh aku menambahkan, aku termasuk cewek yang baik hati, tidak sombong dan gemar menabung (hohoho). Tapi itu saja takkan cukup untuk menjadikanku sebagai kandidat calon pacar Kay. Untuk ukuran cowok sekeren Kay, dia butuh cewek yang lebih dari aku.
"Aku menunggu jawabanmu," suara Kay membuyarkan alam pikiranku. Cowok itu masih di tempatnya dengan tatapan tajam yang bertitik padaku.
"Pertanyaannya?" Aku berlagak bodoh.
"Kamu mau nggak jadi pacarku?" Kay mengulang pertanyaannya yang tadi. Berarti aku nggak salah dengar. Aku bersorak dalam hati. Kay memintaku untuk jadi pacarnya! Hampir saja tubuhku melayang, namun logikaku segera menghentikannya.
"Kenapa aku harus jadi pacarmu?" Aku berusaha bersikap setenang mungkin. Jangan sampai Kay menilai aku sama dengan cewek-cewek lain yang kegenitan di depannya.
"Apakah harus ada alasannya?"
Jawaban Kay membuatku sedikit kecewa. Aku teringat dengan komik cinta yang sering kubaca. Jika menurut komik yang kubaca, harusnya dia bilang "karena aku sayang padamu", tapi jawaban Kay jauh dari yang kubayangkan.
"Apakah kamu ingin aku melindungimu?"
Lagi-lagi aku teringat dengan cerita sebuah novel yang baru-baru ini pernah ku baca. Cerita tentang sepasang kekasih yang terpaksa pacaran dikarenakan sang cowok termasuk salah satu cowok keren di sekolah. Dan dia merasa kurang nyaman karena banyak gadis yang berlomba-lomba untuk mencari perhatiannya. Karenanya tokoh tersebut mencari cewek yang bisa dijadikan pacar untuk melindunginya.
"Maksudmu?" alis Kay bertaut. Hatiku melompat lagi. Kalau situasinya nggak begini, sudah kukecup mata Kay yang menggemaskan itu.
"Aku tahu banyak cewek yang mengejar kamu dan ingin jadi pacarmu. Kamu pasti repot menghadapi mereka. Kamu butuh cover untuk melindungimu. Karena kalau mereka tahu kamu udah punya pacar, otomatis mereka akan menjauh," Aku nyerocos dengan argumentasi yang sok tau.
"Menurutmu begitu?"
"Iya," jawabku yakin.
"Andai situasinya seperti itu, kamu mau jadi pacarku?"
"Boleh aja," jawabku santai. "Toh aku juga nggak rugi apa-apa."
Kay membuang nafas. Senyumnya tawar. Terlihat dipaksa. Aku tak mampu menerjemahkan maksudnya.
"Baiklah," tukasnya. "Mulai sekarang kita jadian."
Aku mengangkat bahu. "Oke."
Masih kucoba bersikap sedatar mungkin. Padahal hatiku jadi nggak karuan. Ternyata benar dugaanku, Kay hanya ingin memanfaatkanku. Tapi aku nggak bisa menarik omonganku kembali. Ada secuil kecewa dalam batinku, namun aku nggak bisa apa-apa.

Kay berlalu tanpa sepatah kata. Pamitpun tidak. Pacar macam apa itu? Batinku memaki.
Di depan pintu kelas, Kay berpapasan dengan Meta. Mereka sempat saling melempar senyum untuk menyapa. Lalu Kay meninggalkan kelasku. Mungkin langsung kembali ke kelasnya di XII IPA 2. Karena jam istirahat sudah habis. Beberapa teman mulai berdatangan kembali ke bangku masing-masing. Meta duduk di sampingku. Matanya tak lepas sedikitpun dariku. Aku balas menatapnya sembari menggigit ujung pulpen.
"What?" tanyaku ketus.
"Ngapain ketua OSIS tadi kesini?"
"Maksudmu Kay?"
"Iyalah. Memangnya kita punya ketua OSIS berapa sih?"
"Dia nembak aku," jawabku tak acuh.
"Bohong lu!"
"Apa kamu pernah lihat aku berbohong?"
"Ya ampun,Mayla!" suara Meta yang melengking naik beberapa oktaf berhasil menarik perhatian seisi kelas. Seluruh mata serempak tertuju pada kami meski tanpa aba-aba. Dengan sigap kuringkus mulut Meta dengan tanganku.
"Hehehe...Becanda, prend," aku nyengir ke arah teman-temanku. Merekapun meresponnya dengan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang geleng-geleng kepala, ada pula yang langsung cuek tak peduli. Meta membuka tanganku yang masih membungkam mulutnya dengan kesal.
"Apaan sih?" sungutnya.
"Apa yang aku bilang tadi rahasia kita berdua. Aku nggak mau semua jadi heboh. Bisa-bisa aku dibantai para penggemar Kay. Kamu tau sendiri khan kalau banyak yang ngefans sama dia?"
"Jangan-jangan kamu bohongin aku?" mata bola Meta membulat. "Mana mungkin Kay nembak kamu?"
Aku meringis mendengar kalimat Meta. Memang tak mungkin seorang Kay yang cakep, ketua OSIS, jago basket, nembak gadis sepertiku. Aku terlalu sederhana buatnya. Meski hanya sebatas 'pacar bohongan', tapi nggak akan ada yang percaya kalau kami sudah jadian.

Matahari menyergap dengan sinarnya yang menyengat saat aku keluar dari pintu gerbang sekolah menuju halte bus yang jaraknya hanya 100 meter dari sekolahku. Meta berjalan ringan di sampingku. Pukul dua siang kami pulang sekolah, namun matahari masih saja meninggi.
"Kalau Kay pacarmu, kenapa kalian nggak pulang bareng?" Mulai deh. Jiwa gosip Meta mulai kumat.
Aku pura-pura tak mendengar pertanyaaan jebakan Meta. Kuayunkan langkah lebih cepat saat kulihat bus yang biasa kami tumpangi berhenti di halte menunggu penumpang. Sedikit berlari, Meta membuntutiku. Kami harus bergegas naik bus itu, kalau nggak terpaksa nunggu setengah jam lagi untuk bus berikutnya.
"Mayla!"
Aku hampir melompat ke dalam bus saat sebuah suara meneriakkan namaku. Meta ikut menoleh ke arah sumber suara. Kay menghentikan motornya di depan bus yang hendak ku tumpangi.
"Aku anter pulang." Kay menyodorkan sebuah helm padaku.
"Kenapa?" keningku berkerut.
"Boleh khan kalau aku ingin nganterin pacarku pulang?"
Jawaban Kay berhasil membuat Meta membelalakkan matanya. Tanpa sadar ia melihat aku dan Kay bergantian dengan mulut terbuka.
"Tapi...Meta..." Aku ingat Meta. Nggak enak rasanya kalau membiarkannya pulang sendiri karena kami sudah biasa pulang bareng. Bisa-bisa aku dicap nggak setia kawan kalau tiba-tiba meninggalkannya seperti ini.
"Meta, keberatan kalau Mayla aku pinjam?" Kay bertanya pada Metra yang masih terbengong-bengong. Pertanyaan itupun mampu mengembalikan Meta ke alam sadar.
"Tentu...tidak..." Meta tergagap.
"Kamu nggak apa-apa pulang sendiri, Ta?" Aku memastikan.
"Nggak apa lah, May...buruan sono! Ditunggu pacarmu tuh."
Kata 'pacarmu' yang sengaja ditekankan pada Meta membuatku nyengir. Bergegas kuraih helm yang sedari tadi disodorkan Kay padaku. Memakainya, lalu aku melompat naik ke atas sadel. Duduk di belakang Kay.
"Pegangan!" suara Kay bernada memerintah. Agak ragu kusentuh pinggangnya. Tapi tangannya dengan sigap meraih tanganku melingkar di perutnya hingga aku sukses memeluk pinggangnya.
Tiba-tiba suara klakson bus menyalak mengagetkan kami. Aku baru tersadar kalau motor Kay menghalangi bus karena berhenti tepat di depannya. Bisa jadi tingkah laku kami tadi menarik perhatian sebagian penumpang yang ada dalam bus tersebut.
Aku menengok ke belakang. Kulihat Meta buru-buru masuk ke dalam bus, namun sebelumnya sempat kulihat dia mengayunkan jempolnya kepadaku sambil tertawa lebar.

Kay membawa motornya dengan kecepatan sedang. Aku membisu di belakang punggungnya yang bidang. Sungguh jantungku berdetak tanpa nada. Bila ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku dulu! Tanganku memeluk perut Kay dengan erat. Atau kucubit saja perut itu, ingin tau reaksi Kay. Kalau dia menjerit, berarti ini bukan mimpi. Tapi gimana kalau dia marah trus aku diturunkan di pinggir jalan? Akhirnya rencana nakalku itu kugagalkan. Mimpi ataupun bukan, yang penting hari ini aku bahagia. Kalau ada penggemar Kay yang melihatku sedang memeluk idolanya saat ini, pasti banyak yang histeris. Bahkan mungkin bunuh diri. Hihihi... Aku menyeringai dalam hati.

Kay berhenti tepat di depan rumahku. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ia bisa tahu letak rumahku dengan tepat? Seingatku aku belum pernah memberinya alamat ataupun denah rumahku padanya. Niat untuk menanyakan hal itu padanya kuurungkan karena sepertinya Kay tak berminat mampir ke rumahku.
"Mulai sekarang aku antar jemput kamu ke sekolah, ya?"
"Kenapa?" Tanyaku sambil menyerahkan helm yang tadi kupakai kepadanya.
"Kenapa sih kamu selalu butuh alasan atas semua yang aku lakukan? Kita khan pacaran, jadi boleh dong aku antar jemput kamu?"
"Pacar bohongan!" sergahku cepat.
"Apapun itu! Tapi aku ingin kita bersikap seperti pacar beneran."
"Iya deh."
"Ok, besok aku jemput sebelum jam setengah tujuh."
Usai berkata begitu, Kay melesat pergi dari hadapanku. Lagi-lagi tanpa pamit! Huh dasar cowok cakep yang nggak tau etika, sungutku sambil melangkah masuk ke dalam rumah.


Sejak saat itu kedekatanku dengan Kay menjadi berita hangat di kalangan siswa di sekolahku. Tiap sudut sekolah membicarakan kami. Tak perlu menelusuri darimana datngnya sumber berita itu. Aku tahu siapa biangnya. Tak ada rahasia yang aman di tangan Meta. Aku bagai artis dadakan yang tiba-tiba menjadi terkenal dan di bicarakan banyak orang. Tapi aku nggak peduli. Masih dengan styleku yang super cuek, walaupun sekarang aku punya banyak musuh dadakan, yang seratus persen berasal dari penggemar Kay yang patah hati, gara-gara hubunganku dengan Kay. Ada yang sinis, mencibir, bisik-bisik, bahkan terang-terangan meludah di depanku. Lagi-lagi aku nggak peduli. Biar saja mereka repot sendiri. Toh kenyataannya aku dan Kay nggak ada hubungan apa-apa. Aku cuma jadi perisai buat dia. Dan berhasil! Buktinya sekarang Kay bisa bermain basket dengan tenang tanpa gangguan gadis-gadis yang berlomba-lomba menarik perhatiannya.
Tapi sekarang justru aku yang jadi rajin menungguinya di tepi lapangan basket. Duduk sambil memeluk ransel Kay dan membawakan sebotol air mineral untuknya. Kalau bukan untuk menunggunya mengantarkan aku pulang sekolah, nggak bakal deh aku mau buang-buang waktu begini. Aku lebih milih di rumah ngerjain PR atau membaca novel yang kemari baru aku beli.
"Belum pulang, May?" Aku terpaksa mengangkat kepala mencari pemilik suara yang menyapaku. Fendy berdiri tegak di sampingku.
"Kamu sendiri?" Aku balik bertanya.
"Aku nunggu Kay. Ada perlu sedikit masalah OSIS," Aku baru ingat kalau Fendy juga pengurus OSIS.
"Oh..."
"Kalau kamu? Kok belum pulang?"
"Sama denganmu."
"Maksudmu?"
"Nunggu Kay." Kening Fendy mengerut.
"Jadi kalian beneran pacaran?" Nadanya sinis. Mungkin cemburu. Karena Fendy masih saja bilang suka padaku meski aku selalu bersikap cuek padanya.
"Kamu beneran pacaran dengan Kay?" Fendy mengulang pertanyaannya. Aku mengangkat bahu. Malas jawabnya. Sebenarnya akhir-akhir ini aku mulai malas "pacaran" dengan Kay. Bukan karena dia bersikap buruk padaku. Justru Kay memperlakukanku dengan sangat baik. Sejak kami jadian dua bulan lalu, dia memperlakukanku selayaknya pacar beneran. Antar jemput sekolah, ke kantin berdua, jalan ke Mall, bahkan malam minggupun rutin apel ke rumahku.
Tapi hatiku kosong. Tak sekalipun Kay bilang cinta ataupun rindu padaku. Lama-lama aku lelah jadi pelindungnya. Capek jadi pacar palsunya. Capek membohongi nurani. Kadang tanpa sadar aku ingin berbisik di telinganya kalau aku sayang dia.

"Ada apa ini? Kok kalian berduaan di sini?" Tiba-tiba Kay muncul di hadapan kami. Kuangsurkan handuk kecil padanya dan diapun mengelap keringat di wajahnya. Kay ini bener-bener deh! Udah keringetan masih cakep aja. Aku menggerutu dalam hati.
"Aku nggak nggangguin pacarmu kok, Kay,"sahut Fendy cepat. "Aku sengaja menunggumu mau nyerahin laporan anggaran Pensi yang di adakan bulan depan." Fendy menyerahkan map yang sedari tadi di bawanya. Kay membacanya sebentar kemudian manggut-manggut.
"Ok... Thanks ya?"
"Ok... Kalau gitu aku duluan ya?" Fendy pamit. Sempat melirikku sebentar lalu pergi.

Kay meraih botol air mineral di pangkuanku lalu menenggaknya beberapa kali tegukan. Aku diam saja memperhatikannya tanpa bicara. Ingin rasanya aku menyentuhnya. Bahkan kalau bisa memeluknya. Bermanja-manja layaknya pacar beneran. Nggak seperti sekarang ini. Kami berakting di depan orang lain. Sampai-sampai aku berpikir kalau kami berbakat jadi pemain sinetron.
Tapi tak ada yang tau batinku yang tersiksa. Aku tak bisa mengatakan perasaanku padanya. Dia kekasihku, tapi aku tak bisa memiliki hatinya. Uh... Aku menggigit bibir, menekan nyeri yang tiba-tiba menyergap dada.
"May..." Suara Kay yang tenang menyadarkanku. Entah sejak kapan dia sudah duduk di sampingku. "Kita putus yuk?"
Kalimat Kay menyambar telingaku. Rasanya seperti di sambar kereta ekspres jurusan Surabaya-Jakarta. Kay memutuskanku! Aku merasa terlempar ke dalam jurang yang paling dalam dan batu-batu cadas menangkap tubuhku.
Tidak bisa!
Dia sudah mempermainkanku habis-habisan. Tiba-tiba mengajakku pacaran lalu memutuskanku begitu saja. Rasanya ingin kucabik-cabik wajah gantengnya atau kuhantam saja dengan ranselnya yang masih kupeluk. Namun aku hanya bisa mematung di tempatku. Tak mampu bergerak apalagi bicara.
"Aku ingin berhenti jadi pacar palsumu. Aku nggak bisa terus-terusan bersandiwara denganmu," Kay melanjutkan kalimatnya. Aku masih membisu sambil menyusun hatiku yang berserakan. Kami memang pacar bohongan, tapi sekarang aku merasa patah hati beneran.
"Hatiku tersiksa,May," Kay terus bicara. Sebenarnya aku tak ingin mendengar dia mengeluhkan penderitaannya selama dekat denganku. Tapi aku nggak mampu menutup telinga. "Aku nggak mau jadi pacar bohongan terus. Aku ingin punya pacar beneran. Aku ingin memeluk pacarku. Membisikkan kata sayang dan rindu padanya."
Hey... Itu khan keinginanku juga? Bagaimana mungkin kami punya pikiran yang sama?
"Kenapa kamu nggak menyadarinya, Mayla? Kenapa kamu nggak bertanya bagaimana usahaku mencari tau rumahmu? Padahal itu semua demi kamu! Aku ingin menyentuhmu dan membisikkan kata cinta padamu..."
Kalimat Kay membuatku terperangah. Bola mataku membulat menatapnya. Tak yakin dengan apa yang kudengar. Tapi Kay terus melanjutkan kalimatnya.
"Dari pertama aku nembak kamu, aku beneran serius sama kamu. Tapi kamu malah menafsirkannya lain. Aku terpaksa menuruti jalan pikiranmu karena aku ingin jadi pacarmu. Aku beneran sayang kamu. Aku nggak mau jadi pacar bohonganmu. Kamu bukan perisaiku, Mayla! Aku ingin jadi pacarmu. Aku..."

Kalimat Kay terhenti. Dia tak melanjutkan ucapannya karena lenganku menggayut manja melingkar di lehernya. Bola mata kami beradu. Saling bertukar rindu. Ada secercah cahaya yang berbinar di dalamnya. Senyum Kay perlahan merekah untukku. Namun tak berapa lama senyum itu lenyap. Membungkam bibirku...hangat.


S E L E S A I

Sabtu, 22 Januari 2011

Di Bawah Pohon Akasia Itu

Menyusuri jalan ini kembali, setelah hampir sepuluh tahun aku berusaha keras untuk menyingkirkan ingatan itu. Melupakan semua kenangan yang berhubungan dengan tempat ini. Namun hari ini kubulatkan tekad untuk melewatinya kembali. Ternyata memang tak semudah yang aku bayangkan.

Menyusuri jalan setapak ini lagi, ingatanku langsung terlempar pada cowok itu. Pada rambut ikalnya. Pada senyum yang selalu terlihat tiap dia bicara. Pada seraut wajahnya yang tampan. Serta pada celotehnya yang senantiasa meramaikan suasana perjalanan kami setiap berangkat dan pulang sekolah. Berjalan bersamanya menjadi terasa begitu menyenangkan dan lupa akan rasa lelah.

Aku ingat ketika Yoga ngotot mengajakku berjalan kaki ke sekolah. Pagi itu dia sengaja datang menjemputku ke rumah. Kami memang tinggal di kompleks yang sama. Hari itu adalah hari pertama aku sekolah di tempat yang baru. Aku baru pindah ke kota ini karena mengikuti Papa yang pindah tugas. Kebetulan disini aku berkenalan dengan Yoga yang satu sekolah denganku meski berbeda kelas. Dia duduk di kelas 3 SMU dan aku satu tingkat di bawahnya.

“Viona,,, Percaya deh sama aku. Kamu pasti akan suka berjalan kaki melewati jalan itu.” Yoga mengatakan itu setelah kusampaikan niatku ingin naik motor ke sekolah.

“Tapi khan jauh?” dahiku mengernyit. Kucoba menawar.

“Nggak terlalu jauh kok kalau kita lewat situ,” Yoga berusaha meyakinkan aku. “Coba sekali ini aja. Kalo kamu capek, besok kita naik motor. Aku janji!”

Apa boleh buat…

Yoga berhasil meyakinkanku dan akhirnya akupun menuruti keinginannya.

Nyatanya Yoga benar. Jalan itu ternyata benar-benar mengasyikkan. Jalan setapak yang mempersingkat jarak antara rumah kami dengan sekolah.

Pohon akasia berbaris rapi di sepanjang tepi jalan dan ujung daunnya saling bertautan, sehingga jalan pun menjadi teduh. Daun-daun keringnya yang berguguran seakan menyapa perjalanan kami. Suara burung pun berkicau ramah. Semilir angin yang sepoi mematahkan sinar mentari yang menembus di sela-sela rimbunnya dedaunan.

Yang membuat aku lebih betah lagi untuk berjalan kaki setiap hari melewati jalan itu adalah adanya Yoga yang tak pernah lelah untuk bercerita tentang apa saja. Sampai-sampai aku pernah berpikir kalau dia nggak akan pernah kehabisan stok untuk dijadikan bahan obrolan. Sementara aku memang cenderung pendiam, sehingga aku lebih sering menjadi pendengar.
Entah mengapa, aku jadi suka mendengar suaranya. Diam-diam memperhatikan ekspresi wajahnya. Meliriknya saat kami berjalan beriringan. Aku suka melihat alis tebalnya bertaut saat dia menceritakan sesuatu yang serius. Tapi aku juga suka melihat bibir tipisnya yang tertawa lebar kala ada cerita yang lucu. Bahkan tak jarang semua itu kubawa dalam anganku menjelang aku tertidur di malam hari.

Lebih dari itu, Yoga adalah seorang sahabat yang sangat memahamiku. Tak ada sesuatu pun yang terlewat darinya. Dia tau makanan favoritku. Musik kesukaanku. Bahkan dia adalah orang yang pertama kali menyadari bila aku terkena flu. Maka percuma aku menutupi sesuatu darinya karena dia pasti menyadarinya.

“Nggak ingin cerita padaku?” Yoga bertanya sambil mengacak rambutku saat kami duduk di teras rumahku sabtu malam itu.
Terkadang dia memang main ke rumahku hanya untuk sekedar nongkrong di sana. Aku kadang heran melihat cowok secakep dia nggak pernah ada acara di sabtu malam. Minimal apel ke rumah cewek. Tapi aku nggak berani menanyakan hal itu padanya.

Aku berusaha menjauhkan kepalaku kala tangannya kembali menjangkau rambutku. Aku memang paling benci bila dia merusak rambutku yang sudah kusisir rapi. Yoga menyeringai melihat wajahku yang cemberut dan dengan kesal merapikan rambutku kembali. Namun dia justru sengaja menggodaku dengan berusaha terus meraih kepalaku.

“Sudah… Hentikan!” seruku gemas. “Kamu tau gak sih berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menyisir rambutku ini?” sungutku.
Yoga tergelak, sampai-sampai aku bisa melihat tubuhnya yang terguncang saat tertawa. Lesung di pipinya terlihat jelas.
Tak lama dia pun menghentikan tawanya saat dilihatnya aku yang tak bergeming. Yoga pun mendekatkan duduknya padaku. Kali ini dia meraih tubuhku ke dalam rengkuhannya seraya tersenyum.

“Ada apa, Viona?” suara Yoga melembut. “Aku merasa kalau saat ini ada yang sedang kamu pikirkan.”

“Kangen mama…” Jawabku singkat. Tapi itu sudah cukup membuatnya mengerti. Lengannya terasa kian erat memeluk bahuku.

“Itu wajar kok. Sudah satu tahun mama meninggalkanmu. Kamu pasti sangat merindukannya.”

Aku tertunduk diam memeluk lutut. Kubiarkan rambut panjangku tergerai menutupi sebagian wajah. Kugigit bibir berusaha menahan air mata yang memberontak membasahi bola mataku.
Dadaku kembali nyeri tiap ingatan kembali pada mama yang meninggal setahun yang lalu karena sakit kanker rahim. Rasa kehilangan tak pernah sirna dari hatiku. Aku masih saja merindukannya.

“Viona…..” tiba-tiba Yoga memanggilku. “Coba lihat bintang yang ada di atas sana!”
Kuangkat dagu dan mengikuti arah telunjuk Yoga yang menunjuk ke angkasa. Puluhan bintang bertaburan menghiasi langit yang kelam.

“Salah satu dari bintang-bintang itu adalah mama Viona yang akan terus menjaga dan melihatmu dari jauh. Dengan doa yang terus kamu berikan, mama pasti tenang disana.”

Mendengar kalimat Yoga, aku tak sanggup menahan kesedihanku. Aku pun hanyut luruh terisak dalam pelukannya.

Bintang…? Aku tersenyum tiap teringat kembali pada apa yang dia katakan malam itu. Seperti bicara dengan anak kecil saja mengumpamakan bintang sebagai orang yang sudah meninggal. Namun meski begitu aku tak ingin protes pada Yoga, karena aku bisa mengerti maksud mulianya yang ingin menghibur hatiku. Dia hanya ingin menenangkan batinku.

Aku masih menyusuri jalan ini. Ketika langit mulai berubah warna. Merah saga. Burung-burung terbang berkelompok kembali ke peraduan. Senja telah menyapa mengiringi langkahku yang berayun menelusuri setiap kenangan yang telah lama aku tinggalkan.

Namun tiba-tiba langkahku terhenti seketika. Wajahku mendadak pias. Mataku terpaku pada sebatang pohon tua di depanku. Pohon akasia itu! Kurasakan detak jantungku berpacu lebih cepat dan terasa sesak oleh kenangan yang tiba-tiba menyeruak.

Siang itu sepulang sekolah. Seperti biasa aku dan Yoga berjalan menyusuri jalan favorit kami. Jalanan dengan barisan akasia di sisinya. Tapi siang itu aku merasakan sikap Yoga yang berbeda dari biasanya. Yoga tampak lebih pendiam dari sebelumnya.

“Nggak ingin cerita padaku?” Tanyaku memberanikan diri setelah sekian waktu kami berjalan dalam kebisuan.
Aku melihat Yoga agak tersentak mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian dia tersenyum kecil. Pasti dia teringat kalau pertanyaanku itu adalah pertanyaan khas yang selalu dia lontarkan padaku jika merasakan ada yang berbeda dari diriku.
Yoga melangkah menepi. Tepat di bawah pohon akasia dia berhenti. Kuikuti langkahnya lalu berhenti tepat di hadapannya. Yoga menatapku lekat dengan sorot matanya yang tajam tapi terasa lembut bagiku. Aku berusaha membalas tatapannya dengan mataku.
Meski sekejap kemudian ada perasaan gelisah yang menggoyahkan keberanianku.
Mata hitam Yoga meredup, mengatup sebentar lalu kembali menatapku dengan sinar yang terasa asing buatku. Ada sesuatu yang berkilat dalam bola mata itu. Namun aku tak bisa menerjemahkannya dengan akalku.

“Viona…” Yoga melepaskan nafasnya dengan kuat, lalu meraih jemariku dan merangkumnya dalam genggaman. Bagai kehilangan daya, aku cuma bisa membiarkan.

“Aku cinta kamu...”

Lirih suara yang terdengar seperti selusin balon yang meletus tiba-tiba di telingaku. Aku tercekat. Tak dapat kusembunyikan keterkejutanku. Kuurai jemariku dari genggamnya dengan gugup. Ribuan kata di otakku hilang entah kemana. Tak sanggup mataku menatap Yoga. Namun tiba-tiba kudengar Yoga tertawa renyah tanpa beban. Diacaknya rambutku. Dan kali ini aku tak berpikir untuk menghindar.

“Maaf… Aku… “ suaraku terhenti di tenggorokan.

“Sstt…” Yoga menutup bibirku dengan jarinya. “Ini memang terlalu tiba-tiba. Kamu pasti perlu waktu. Aku akan menunggu jawaban itu. Dan aku ingin mendengar langsung dari bibirmu…”
Belum sempat bibirku mengeluarkan sepatah kata, perhatianku terusik pada suara tak jauh dari tempat kami berdiri.
Bagai dikomando, aku dan Yoga mengalihkan pandang pada seekor burung kecil yang terjatuh di bawah akasia. Yoga mendekat dan meraihnya.

“Sepertinya dia terjatuh dari sarangnya.”

Pandangan kami beralih ke atas pohon. Tiba-tiba tatapan kami berhenti pada sarang yang terletak cukup tinggi di salah satu dahan akasia.

“Tinggi sekali,” gumam Yoga.

“Tolong kembalikan dia…” desisku lirih. Aku tak tega membayangkan burung kecil itu terpisah dari induknya. Sekarang dia pasti gelisah karena tak melihat ibunya. Kubayangkan kesedihanku kala aku kehilangan mama. Perasaan burung kecil itu pasti seperti itu juga.

Sepintas tampak ada sedikit keraguan di wajah Yoga. Namun saat ia mendapati wajah cemasku, tanpa menungguku meminta dua kali iapun bergegas memanjat pohon akasia itu sambil menggenggam burung kecil itu. Dengan lincah, kakinya bergerak dari satu dahan ke dahan yang lain. Sebenarnya ada rasa cemas saat melihat tubuhnya semakin naik keatas.
Namun kemudian aku tersenyum lega saat Yoga berhasil meletakkan burubg itu di sarangnya.
Saat hendak kembali, kulihat Yoga agak terburu-buru. Sempat kulihat kakinya yang agak gemetaran.

Tiba-tiba mataku terhenti pada dahan yang hendak diinjaknya. Dahan itu terlihat rapuh.

“Yoga…” teriakku. “Dahan itu…” teriakanku terlambat menghentikan kakinya.

Warna langit telah berganti hitam. Tak ada lagi burung-burung yang terbang berarak. Sang surya telah tenggelam dipeluk malam. Lampu-lampu di tepi jalan sudah dinyalakan. Namun aku masih terpaku diam dibawah akasia. Kupandang langit yang hening tanpa bintang.

Hari ini, hampir sepuluh tahun sejak hari yang tak terlupa itu. Hari ini untuk pertama kalinya kulangkahkan kaki disini kembali.

Bukan aku tak ingin, tapi aku tak bisa. Sulit rasanya menerima kenyataan jika sahabatku telah pergi untuk selamanya.
Namun yang paling sulit adalah menghilangkan rasa bersalah dalam diriku. Aku menyesali apa yang sudah kulakukan saat itu. Terlebih saat aku dengar orang tua Yoga yang mengatakan jika Yoga takut ketinggian. Mereka merasa heran dengan kenekatan putranya memanjat pohon setinggi itu.
Kugigit bibir kala hati terasa nyeri.kristal bening bergulir di sudut mata. Jatuh membasahi pipi.

“Yoga…” bisikku lirih. “Andai saja saat ini kamu ada disini…”

Tiba-tiba aku melihat sebuah bintang muncul di angkasa. Aku hampir tak percaya saat menyadari jika itu adalah satu-satunya bintang di langit malam ini. Aku tersenyum padanya saat bintang itu mengerling padaku. “Betapa kuyakin itu kamu.”
Kataku sembari menatap lekat bintang itu.

“Aku datang kesini untuk memberimu jawaban. Andai saja bisa kuucapkan saat itu…”
Kali ini aku pun berteriak sekencang-kencangnya agar dia mendengarku dari tempatnya yang jauh. “Yogaaaa… Aku cinta kamu!”

Penulis,
Ratu Ariestyani Dwi Kusumah
Adiek Catatan Ratoe

Buat Lencana Anda

Rabu, 19 Januari 2011

Cinta Itu Dari Hati

  "Maaf,sayang...Aku nggak bisa nganterin kamu pulang hari ini. Aku ada janji dengan Cindy," Riyan menatap wajah Zhe yang lusuh dan berkeringat dengan wajah serius.
Kalau boleh jujur, sebenarnya saat itu ingin rasanya Zhe memaki Riyan dengan sejuta caci. Maklum saja, dia sudah menunggu hampir satu jam tapi ternyata sia-sia.
Namun dia tak bisa marah. Seperti biasa dia hanya tersenyum. Senyum yang dipaksa.
     "Nggak apa,"kata Zhe dengan lembut."Aku bisa pulang sendiri."
     "Ya sudah..."tukas Riyan. "Kamu hati-hati,ya? Nanti malam aku telepon."
Selesai berkata begitu,Riyan bergegas berlalu. Setengah berlari menghampiri Cindy yang berdiri menunggu di kejauhan.
Zhe memandang punggung kekasihnya dengan getir. Ini bukan kali pertama Riyan memperlakukannya begini. Sudah terlalu sering dia dibiarkan menunggu lama, tapi kemudian Riyan membatalkan janjinya dengan berbagai alasan.
Riyan memang termasuk cowok populer di sekolah. Zhe mengakui jika Riyan cowok yang menarik. Tak heran jika banyak teman-teman cewek mereka yang berusaha merebut perhatiannya.
Begitupun Riyan tidak pernah bisa menolak permintaan mereka. Nganterin ke kantin, perpustakaan, nonton, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai Zhe merasa kerap diabaikan.
     Tapi gadis itu tak pernah protes. Zhe terlalu takut kehilangan cowok yang baru 6 bulan jadi pacarnya itu. Dia memilih untuk diam dan menerima setiap perlakuan Riyan kepadanya.
     "Pulang sendiri lagi, Zhe?"
Sebuah suara mengalihkan lamunan Zhe yang melangkah gontai menuju halte bus. Rangga menghentikan motornya tepat di samping Zhe. Gadis itu cuma mengangguk dan tersenyum kecut pada teman sekelasnya itu.
     "Naiklah! Aku antar.."
Tanpa banyak bicara, Zhe naik ke atas motor dan duduk di belakang Rangga.
     Motor melaju membelah siang yang terik dengan kecepatan sedang. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir keduanya. Mereka sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Rangga sangat memahami apa yang terjadi pada diri sahabatnya itu. Karena dia sering melihat sendiri bagaimana perlakuan Riyan pada Zhe. Awalnya Rangga ikut merasa kesal pada Riyan, namun akhirnya dia diam saja melihat Zhe yang selalu bersikap mengalah. Meski dalam hati sesungguhnya  dia masih tak terima.
     "Andai saja kamu mau menerima cintaku, aku pasti  bisa memperlakukanmu lebih baik dari Riyan," kata Rangga di suatu hari saat mereka berhenti di sebuah warung di tengah perjalanan pulang sekolah. Hari itu untuk kesekian kalinya Rangga mengantarkan Zhe pulang setelah Riyan membatalkan janjinya lagi.
Mendengar ucapan Rangga itu, Zhe tak berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum tipis. Rangga memang pernah menyatakan perasaannya pada gadis itu, tapi Zhe menolaknya dengan halus. Rangga mengerti karena memang Zhe telah memiliki kekasih. Dia hanya ingin menyampaikan perasaannya itu tanpa berharap lebih pada gadis itu.
     "Apa yang kamu harapkan darinya, Zhe?"
     "Tak ada.." Zhe menghela nafas. "Aku hanya merasa istimewa bisa memilikinya." "Istimewa?"
     "Kau tau...Aku bukan gadis yang istimewa. Tak secantik Cindy. Tak semenarik Audy. Tapi Riyan memilihku. Aku merasa istimewa."
     "Kamu mencintainya?"
     "Mengapa kamu bertanya begitu?" Bola mata Zhe membulat menatap Rangga lekat.
     "Pertanyaanku sederhana. Mengapa kamu tak bisa menjawabnya?"
     "Aku......." Zhe terdiam. Dia merasa kebingungan mencari jawaban atas pertanyaan Rangga. Cinta? Apa itu? Pertanyaan itupun berkelebat di benaknya. Mengapa dia tak mengerti arti dari perasaan itu? Mengapa dia tak bisa menjawab pertanyaan Rangga yang sederhana itu?
Dan akhirnya diapun hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
     "Zhe..." Rangga menyentuh ujung jari Zhe. Tiba-tiba gadis itu merasa jantungnya berdesir merasakan sentuhan itu. Matanya tak sanggup menatap wajah Rangga. "Cinta itu dari hati. Dia takkan menyakiti. Cinta akan menjagamu dari segala luka. Menurutku apa yang kamu rasakan itu bukanlah cinta. Mungkin kamu hanya merasa bangga memiliki kekasih sehebat Riyan."
Kelembutan Rangga, matanya yang menatap Zhe dengan teduh, membuat Zhe merasa damai jika di dekatnya. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu yang selama ini terabaikan. Rangga bisa membuatnya merasa sangat nyaman.
     "STOP!!!" Teriakan Zhe yang tiba-tiba memaksa Rangga menekan rem dengan reflek. Untung suasana jalan sedang sepi sehingga tak terjadi tabrakan dengan kendaraan lain.
Motor berhenti di depan sebuah cafe. Zhe turun dan melangkah dengan santai ke arah sebuah meja di teras cafe tersebut.
Rangga mengikuti apa yang di lakukan gadis itu dengan tatapannya. Niatnya untuk mengikuti urung kala dilihatnya orang yang dituju oleh Zhe.
     "Bisa kita bicara di sini, Riyan?" Sapa Zhe hangat dengan senyumnya yang mempesona.
Riyan tampak terperanjat melihat kehadiran Zhe yang mendadak muncul di depannya. Dengan gugup, ditariknya jemari yang menggenggam tangan Cindy yang duduk di depannya.
     "Nanti aku telepon kamu, sayang..." kata Riyan setengah berbisik. Seolah tak mendengar suara Riyan, Zhe menarik sebuah kursi dan duduk diantara mereka.
     "Aku cuma minta waktumu sebentar." Zhe mengalihkan pandangannya ke arah Cindy yang tertunduk kikuk. "Aku tak keberatan jika Cindy mendengarnya."
     "Ada apa, sayang?" tanya Riyan dengan gelisah.
     "Aku ingin mengakhiri hubungan kita."
Wajah Riyan memucat dengan ekspresi terkejut yang sangat mendengar kalimat yang keluar dari bibir Zhe. Sejenak kemudian, dia memaksa untuk tersenyum.
     "Kamu cuma emosi. Sekarang kamu pulang ya? Nanti aku telepon."
     "Kamu tak perlu telepon aku lagi!" Suara Zhe terdengar lebih tegas dan serius. "Kita putus!"
     "Tapi sayang... Kenapa?" Riyan menggenggam jemari Zhe. Dan Zhe baru menyadari jika ternyata dia tidak merasakan debaran hebat seperti yang ia rasakan saat Rangga menyentuh ujung jarinya. Perasaaannya pada Riyan begitu datar.
"Aku mencintaimu, Zhe'" desis Riyan dengan wajah yang serius. Zhe tersenyum tipis.
     "Cinta datang dari hati. Cinta takkan menyakiti. Hatimu akan menuntunmu untuk menjaga perasaan orang yang kamu cintai. Tapi selama ini sikapmu tak pernah menjaga perasaanku," Zhe menarik tangannya dari genggaman Riyan. "Ternyata baru kusadari jika selama ini aku tak pernah mencintaimu."
Usai berkata begitu, Zhe bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Riyan yang termangu dalam penyesalan.
     Langkah kaki Zhe kian pasti saat dilihatnya Rangga yang masih setia menunggu di atas motornya. Menatapnya dengan matanya yang teduh dan penuh cinta. Zhe tersenyum lebar kala hatinya menemukan jawaban atas debar yang ia rasakan. Sebuah cinta yang ia temukan dari dalam hati....... Cinta untuk Rangga!


-SELESAI-


Adiek Catatan Ratoe

Buat Lencana Anda