Kamis, 27 Januari 2011

Pacar Bohongan

"Kamu mau nggak jadi pacarku?"
Aku mendongak seketika. Dalam hitungan detik mengalihkan tatapanku dari kumpulan soal-soal matematika yang sedari tadi menguras pikiran. Aku celingukan ke kanan, ke kiri, bahkan menoleh ke belakang. Tak ada siapapun, hanya ada aku dan Kay yang sekarang sedang duduk di depanku.
Kupandang wajah gantengnya yang tengah menatapku lekat. Matanya tampak serius. Dia benar-benar sedang bicara denganku! Tapi aku menggeleng cepat. Tidak! Ini pasti mimpi. Kucubit lenganku. Auw! Aku mengaduh. Kay mengulum senyum menertawakan tingkah konyolku
"Sakit?" Dia pasti meledekku. Aku tersenyum kecut menutupi rasa malu.
"Enggak," jawabku cuek. Lalu kembali memelototi soal-soal matematika di depanku. Jam istirahat kali ini terpaksa kuhabiskan di kelas untuk mengerjakan PR matematika yang lupa kukerjakan. Gara-gara kemarin aku keasyikan jalan ke Mall bersama Meta, sahabat yang juga teman sebangkuku.
"Haloooo..."
Astaga! Aku lupa kalau Kay masih duduk di depanku.
"Eh...kamu masih di sini?" Aku masih memasang tampang cuek. Padahal sungguh hatiku sedang berlompatan saat ini. Berada sedekat ini dengan salah satu cowok idola di sekolahku adalah impian semu gadis di sekolah ini. Kecuali aku. Dalam mimpi pun aku nggak berani membayangkannya. Karena kalau aku nekat ikut 'beraksi' di depan Kay -seperti cewek-cewek yang lain- sama saja dengan pungguk yang mencari perhatian bulan. Aku cukup tahu diri untuk tidak ikut berkompetisi memperebutkan sang idola.
Sebenarnya aku nggak jelek-jelek amat sih. Bahkan sampai saat ini, Fendy masih mengharapkan aku untuk jadi pacarnya. Menurut beberapa teman, aku cukup cantik. Bahkan ada yang bilang manis. Meski terkesan cuek, tapi aku ramah dan asyik buat berteman. Dan kalau boleh aku menambahkan, aku termasuk cewek yang baik hati, tidak sombong dan gemar menabung (hohoho). Tapi itu saja takkan cukup untuk menjadikanku sebagai kandidat calon pacar Kay. Untuk ukuran cowok sekeren Kay, dia butuh cewek yang lebih dari aku.
"Aku menunggu jawabanmu," suara Kay membuyarkan alam pikiranku. Cowok itu masih di tempatnya dengan tatapan tajam yang bertitik padaku.
"Pertanyaannya?" Aku berlagak bodoh.
"Kamu mau nggak jadi pacarku?" Kay mengulang pertanyaannya yang tadi. Berarti aku nggak salah dengar. Aku bersorak dalam hati. Kay memintaku untuk jadi pacarnya! Hampir saja tubuhku melayang, namun logikaku segera menghentikannya.
"Kenapa aku harus jadi pacarmu?" Aku berusaha bersikap setenang mungkin. Jangan sampai Kay menilai aku sama dengan cewek-cewek lain yang kegenitan di depannya.
"Apakah harus ada alasannya?"
Jawaban Kay membuatku sedikit kecewa. Aku teringat dengan komik cinta yang sering kubaca. Jika menurut komik yang kubaca, harusnya dia bilang "karena aku sayang padamu", tapi jawaban Kay jauh dari yang kubayangkan.
"Apakah kamu ingin aku melindungimu?"
Lagi-lagi aku teringat dengan cerita sebuah novel yang baru-baru ini pernah ku baca. Cerita tentang sepasang kekasih yang terpaksa pacaran dikarenakan sang cowok termasuk salah satu cowok keren di sekolah. Dan dia merasa kurang nyaman karena banyak gadis yang berlomba-lomba untuk mencari perhatiannya. Karenanya tokoh tersebut mencari cewek yang bisa dijadikan pacar untuk melindunginya.
"Maksudmu?" alis Kay bertaut. Hatiku melompat lagi. Kalau situasinya nggak begini, sudah kukecup mata Kay yang menggemaskan itu.
"Aku tahu banyak cewek yang mengejar kamu dan ingin jadi pacarmu. Kamu pasti repot menghadapi mereka. Kamu butuh cover untuk melindungimu. Karena kalau mereka tahu kamu udah punya pacar, otomatis mereka akan menjauh," Aku nyerocos dengan argumentasi yang sok tau.
"Menurutmu begitu?"
"Iya," jawabku yakin.
"Andai situasinya seperti itu, kamu mau jadi pacarku?"
"Boleh aja," jawabku santai. "Toh aku juga nggak rugi apa-apa."
Kay membuang nafas. Senyumnya tawar. Terlihat dipaksa. Aku tak mampu menerjemahkan maksudnya.
"Baiklah," tukasnya. "Mulai sekarang kita jadian."
Aku mengangkat bahu. "Oke."
Masih kucoba bersikap sedatar mungkin. Padahal hatiku jadi nggak karuan. Ternyata benar dugaanku, Kay hanya ingin memanfaatkanku. Tapi aku nggak bisa menarik omonganku kembali. Ada secuil kecewa dalam batinku, namun aku nggak bisa apa-apa.

Kay berlalu tanpa sepatah kata. Pamitpun tidak. Pacar macam apa itu? Batinku memaki.
Di depan pintu kelas, Kay berpapasan dengan Meta. Mereka sempat saling melempar senyum untuk menyapa. Lalu Kay meninggalkan kelasku. Mungkin langsung kembali ke kelasnya di XII IPA 2. Karena jam istirahat sudah habis. Beberapa teman mulai berdatangan kembali ke bangku masing-masing. Meta duduk di sampingku. Matanya tak lepas sedikitpun dariku. Aku balas menatapnya sembari menggigit ujung pulpen.
"What?" tanyaku ketus.
"Ngapain ketua OSIS tadi kesini?"
"Maksudmu Kay?"
"Iyalah. Memangnya kita punya ketua OSIS berapa sih?"
"Dia nembak aku," jawabku tak acuh.
"Bohong lu!"
"Apa kamu pernah lihat aku berbohong?"
"Ya ampun,Mayla!" suara Meta yang melengking naik beberapa oktaf berhasil menarik perhatian seisi kelas. Seluruh mata serempak tertuju pada kami meski tanpa aba-aba. Dengan sigap kuringkus mulut Meta dengan tanganku.
"Hehehe...Becanda, prend," aku nyengir ke arah teman-temanku. Merekapun meresponnya dengan reaksi yang berbeda-beda. Ada yang geleng-geleng kepala, ada pula yang langsung cuek tak peduli. Meta membuka tanganku yang masih membungkam mulutnya dengan kesal.
"Apaan sih?" sungutnya.
"Apa yang aku bilang tadi rahasia kita berdua. Aku nggak mau semua jadi heboh. Bisa-bisa aku dibantai para penggemar Kay. Kamu tau sendiri khan kalau banyak yang ngefans sama dia?"
"Jangan-jangan kamu bohongin aku?" mata bola Meta membulat. "Mana mungkin Kay nembak kamu?"
Aku meringis mendengar kalimat Meta. Memang tak mungkin seorang Kay yang cakep, ketua OSIS, jago basket, nembak gadis sepertiku. Aku terlalu sederhana buatnya. Meski hanya sebatas 'pacar bohongan', tapi nggak akan ada yang percaya kalau kami sudah jadian.

Matahari menyergap dengan sinarnya yang menyengat saat aku keluar dari pintu gerbang sekolah menuju halte bus yang jaraknya hanya 100 meter dari sekolahku. Meta berjalan ringan di sampingku. Pukul dua siang kami pulang sekolah, namun matahari masih saja meninggi.
"Kalau Kay pacarmu, kenapa kalian nggak pulang bareng?" Mulai deh. Jiwa gosip Meta mulai kumat.
Aku pura-pura tak mendengar pertanyaaan jebakan Meta. Kuayunkan langkah lebih cepat saat kulihat bus yang biasa kami tumpangi berhenti di halte menunggu penumpang. Sedikit berlari, Meta membuntutiku. Kami harus bergegas naik bus itu, kalau nggak terpaksa nunggu setengah jam lagi untuk bus berikutnya.
"Mayla!"
Aku hampir melompat ke dalam bus saat sebuah suara meneriakkan namaku. Meta ikut menoleh ke arah sumber suara. Kay menghentikan motornya di depan bus yang hendak ku tumpangi.
"Aku anter pulang." Kay menyodorkan sebuah helm padaku.
"Kenapa?" keningku berkerut.
"Boleh khan kalau aku ingin nganterin pacarku pulang?"
Jawaban Kay berhasil membuat Meta membelalakkan matanya. Tanpa sadar ia melihat aku dan Kay bergantian dengan mulut terbuka.
"Tapi...Meta..." Aku ingat Meta. Nggak enak rasanya kalau membiarkannya pulang sendiri karena kami sudah biasa pulang bareng. Bisa-bisa aku dicap nggak setia kawan kalau tiba-tiba meninggalkannya seperti ini.
"Meta, keberatan kalau Mayla aku pinjam?" Kay bertanya pada Metra yang masih terbengong-bengong. Pertanyaan itupun mampu mengembalikan Meta ke alam sadar.
"Tentu...tidak..." Meta tergagap.
"Kamu nggak apa-apa pulang sendiri, Ta?" Aku memastikan.
"Nggak apa lah, May...buruan sono! Ditunggu pacarmu tuh."
Kata 'pacarmu' yang sengaja ditekankan pada Meta membuatku nyengir. Bergegas kuraih helm yang sedari tadi disodorkan Kay padaku. Memakainya, lalu aku melompat naik ke atas sadel. Duduk di belakang Kay.
"Pegangan!" suara Kay bernada memerintah. Agak ragu kusentuh pinggangnya. Tapi tangannya dengan sigap meraih tanganku melingkar di perutnya hingga aku sukses memeluk pinggangnya.
Tiba-tiba suara klakson bus menyalak mengagetkan kami. Aku baru tersadar kalau motor Kay menghalangi bus karena berhenti tepat di depannya. Bisa jadi tingkah laku kami tadi menarik perhatian sebagian penumpang yang ada dalam bus tersebut.
Aku menengok ke belakang. Kulihat Meta buru-buru masuk ke dalam bus, namun sebelumnya sempat kulihat dia mengayunkan jempolnya kepadaku sambil tertawa lebar.

Kay membawa motornya dengan kecepatan sedang. Aku membisu di belakang punggungnya yang bidang. Sungguh jantungku berdetak tanpa nada. Bila ini mimpi, tolong jangan bangunkan aku dulu! Tanganku memeluk perut Kay dengan erat. Atau kucubit saja perut itu, ingin tau reaksi Kay. Kalau dia menjerit, berarti ini bukan mimpi. Tapi gimana kalau dia marah trus aku diturunkan di pinggir jalan? Akhirnya rencana nakalku itu kugagalkan. Mimpi ataupun bukan, yang penting hari ini aku bahagia. Kalau ada penggemar Kay yang melihatku sedang memeluk idolanya saat ini, pasti banyak yang histeris. Bahkan mungkin bunuh diri. Hihihi... Aku menyeringai dalam hati.

Kay berhenti tepat di depan rumahku. Aku sempat bertanya-tanya dalam hati, bagaimana ia bisa tahu letak rumahku dengan tepat? Seingatku aku belum pernah memberinya alamat ataupun denah rumahku padanya. Niat untuk menanyakan hal itu padanya kuurungkan karena sepertinya Kay tak berminat mampir ke rumahku.
"Mulai sekarang aku antar jemput kamu ke sekolah, ya?"
"Kenapa?" Tanyaku sambil menyerahkan helm yang tadi kupakai kepadanya.
"Kenapa sih kamu selalu butuh alasan atas semua yang aku lakukan? Kita khan pacaran, jadi boleh dong aku antar jemput kamu?"
"Pacar bohongan!" sergahku cepat.
"Apapun itu! Tapi aku ingin kita bersikap seperti pacar beneran."
"Iya deh."
"Ok, besok aku jemput sebelum jam setengah tujuh."
Usai berkata begitu, Kay melesat pergi dari hadapanku. Lagi-lagi tanpa pamit! Huh dasar cowok cakep yang nggak tau etika, sungutku sambil melangkah masuk ke dalam rumah.


Sejak saat itu kedekatanku dengan Kay menjadi berita hangat di kalangan siswa di sekolahku. Tiap sudut sekolah membicarakan kami. Tak perlu menelusuri darimana datngnya sumber berita itu. Aku tahu siapa biangnya. Tak ada rahasia yang aman di tangan Meta. Aku bagai artis dadakan yang tiba-tiba menjadi terkenal dan di bicarakan banyak orang. Tapi aku nggak peduli. Masih dengan styleku yang super cuek, walaupun sekarang aku punya banyak musuh dadakan, yang seratus persen berasal dari penggemar Kay yang patah hati, gara-gara hubunganku dengan Kay. Ada yang sinis, mencibir, bisik-bisik, bahkan terang-terangan meludah di depanku. Lagi-lagi aku nggak peduli. Biar saja mereka repot sendiri. Toh kenyataannya aku dan Kay nggak ada hubungan apa-apa. Aku cuma jadi perisai buat dia. Dan berhasil! Buktinya sekarang Kay bisa bermain basket dengan tenang tanpa gangguan gadis-gadis yang berlomba-lomba menarik perhatiannya.
Tapi sekarang justru aku yang jadi rajin menungguinya di tepi lapangan basket. Duduk sambil memeluk ransel Kay dan membawakan sebotol air mineral untuknya. Kalau bukan untuk menunggunya mengantarkan aku pulang sekolah, nggak bakal deh aku mau buang-buang waktu begini. Aku lebih milih di rumah ngerjain PR atau membaca novel yang kemari baru aku beli.
"Belum pulang, May?" Aku terpaksa mengangkat kepala mencari pemilik suara yang menyapaku. Fendy berdiri tegak di sampingku.
"Kamu sendiri?" Aku balik bertanya.
"Aku nunggu Kay. Ada perlu sedikit masalah OSIS," Aku baru ingat kalau Fendy juga pengurus OSIS.
"Oh..."
"Kalau kamu? Kok belum pulang?"
"Sama denganmu."
"Maksudmu?"
"Nunggu Kay." Kening Fendy mengerut.
"Jadi kalian beneran pacaran?" Nadanya sinis. Mungkin cemburu. Karena Fendy masih saja bilang suka padaku meski aku selalu bersikap cuek padanya.
"Kamu beneran pacaran dengan Kay?" Fendy mengulang pertanyaannya. Aku mengangkat bahu. Malas jawabnya. Sebenarnya akhir-akhir ini aku mulai malas "pacaran" dengan Kay. Bukan karena dia bersikap buruk padaku. Justru Kay memperlakukanku dengan sangat baik. Sejak kami jadian dua bulan lalu, dia memperlakukanku selayaknya pacar beneran. Antar jemput sekolah, ke kantin berdua, jalan ke Mall, bahkan malam minggupun rutin apel ke rumahku.
Tapi hatiku kosong. Tak sekalipun Kay bilang cinta ataupun rindu padaku. Lama-lama aku lelah jadi pelindungnya. Capek jadi pacar palsunya. Capek membohongi nurani. Kadang tanpa sadar aku ingin berbisik di telinganya kalau aku sayang dia.

"Ada apa ini? Kok kalian berduaan di sini?" Tiba-tiba Kay muncul di hadapan kami. Kuangsurkan handuk kecil padanya dan diapun mengelap keringat di wajahnya. Kay ini bener-bener deh! Udah keringetan masih cakep aja. Aku menggerutu dalam hati.
"Aku nggak nggangguin pacarmu kok, Kay,"sahut Fendy cepat. "Aku sengaja menunggumu mau nyerahin laporan anggaran Pensi yang di adakan bulan depan." Fendy menyerahkan map yang sedari tadi di bawanya. Kay membacanya sebentar kemudian manggut-manggut.
"Ok... Thanks ya?"
"Ok... Kalau gitu aku duluan ya?" Fendy pamit. Sempat melirikku sebentar lalu pergi.

Kay meraih botol air mineral di pangkuanku lalu menenggaknya beberapa kali tegukan. Aku diam saja memperhatikannya tanpa bicara. Ingin rasanya aku menyentuhnya. Bahkan kalau bisa memeluknya. Bermanja-manja layaknya pacar beneran. Nggak seperti sekarang ini. Kami berakting di depan orang lain. Sampai-sampai aku berpikir kalau kami berbakat jadi pemain sinetron.
Tapi tak ada yang tau batinku yang tersiksa. Aku tak bisa mengatakan perasaanku padanya. Dia kekasihku, tapi aku tak bisa memiliki hatinya. Uh... Aku menggigit bibir, menekan nyeri yang tiba-tiba menyergap dada.
"May..." Suara Kay yang tenang menyadarkanku. Entah sejak kapan dia sudah duduk di sampingku. "Kita putus yuk?"
Kalimat Kay menyambar telingaku. Rasanya seperti di sambar kereta ekspres jurusan Surabaya-Jakarta. Kay memutuskanku! Aku merasa terlempar ke dalam jurang yang paling dalam dan batu-batu cadas menangkap tubuhku.
Tidak bisa!
Dia sudah mempermainkanku habis-habisan. Tiba-tiba mengajakku pacaran lalu memutuskanku begitu saja. Rasanya ingin kucabik-cabik wajah gantengnya atau kuhantam saja dengan ranselnya yang masih kupeluk. Namun aku hanya bisa mematung di tempatku. Tak mampu bergerak apalagi bicara.
"Aku ingin berhenti jadi pacar palsumu. Aku nggak bisa terus-terusan bersandiwara denganmu," Kay melanjutkan kalimatnya. Aku masih membisu sambil menyusun hatiku yang berserakan. Kami memang pacar bohongan, tapi sekarang aku merasa patah hati beneran.
"Hatiku tersiksa,May," Kay terus bicara. Sebenarnya aku tak ingin mendengar dia mengeluhkan penderitaannya selama dekat denganku. Tapi aku nggak mampu menutup telinga. "Aku nggak mau jadi pacar bohongan terus. Aku ingin punya pacar beneran. Aku ingin memeluk pacarku. Membisikkan kata sayang dan rindu padanya."
Hey... Itu khan keinginanku juga? Bagaimana mungkin kami punya pikiran yang sama?
"Kenapa kamu nggak menyadarinya, Mayla? Kenapa kamu nggak bertanya bagaimana usahaku mencari tau rumahmu? Padahal itu semua demi kamu! Aku ingin menyentuhmu dan membisikkan kata cinta padamu..."
Kalimat Kay membuatku terperangah. Bola mataku membulat menatapnya. Tak yakin dengan apa yang kudengar. Tapi Kay terus melanjutkan kalimatnya.
"Dari pertama aku nembak kamu, aku beneran serius sama kamu. Tapi kamu malah menafsirkannya lain. Aku terpaksa menuruti jalan pikiranmu karena aku ingin jadi pacarmu. Aku beneran sayang kamu. Aku nggak mau jadi pacar bohonganmu. Kamu bukan perisaiku, Mayla! Aku ingin jadi pacarmu. Aku..."

Kalimat Kay terhenti. Dia tak melanjutkan ucapannya karena lenganku menggayut manja melingkar di lehernya. Bola mata kami beradu. Saling bertukar rindu. Ada secercah cahaya yang berbinar di dalamnya. Senyum Kay perlahan merekah untukku. Namun tak berapa lama senyum itu lenyap. Membungkam bibirku...hangat.


S E L E S A I

Sabtu, 22 Januari 2011

Di Bawah Pohon Akasia Itu

Menyusuri jalan ini kembali, setelah hampir sepuluh tahun aku berusaha keras untuk menyingkirkan ingatan itu. Melupakan semua kenangan yang berhubungan dengan tempat ini. Namun hari ini kubulatkan tekad untuk melewatinya kembali. Ternyata memang tak semudah yang aku bayangkan.

Menyusuri jalan setapak ini lagi, ingatanku langsung terlempar pada cowok itu. Pada rambut ikalnya. Pada senyum yang selalu terlihat tiap dia bicara. Pada seraut wajahnya yang tampan. Serta pada celotehnya yang senantiasa meramaikan suasana perjalanan kami setiap berangkat dan pulang sekolah. Berjalan bersamanya menjadi terasa begitu menyenangkan dan lupa akan rasa lelah.

Aku ingat ketika Yoga ngotot mengajakku berjalan kaki ke sekolah. Pagi itu dia sengaja datang menjemputku ke rumah. Kami memang tinggal di kompleks yang sama. Hari itu adalah hari pertama aku sekolah di tempat yang baru. Aku baru pindah ke kota ini karena mengikuti Papa yang pindah tugas. Kebetulan disini aku berkenalan dengan Yoga yang satu sekolah denganku meski berbeda kelas. Dia duduk di kelas 3 SMU dan aku satu tingkat di bawahnya.

“Viona,,, Percaya deh sama aku. Kamu pasti akan suka berjalan kaki melewati jalan itu.” Yoga mengatakan itu setelah kusampaikan niatku ingin naik motor ke sekolah.

“Tapi khan jauh?” dahiku mengernyit. Kucoba menawar.

“Nggak terlalu jauh kok kalau kita lewat situ,” Yoga berusaha meyakinkan aku. “Coba sekali ini aja. Kalo kamu capek, besok kita naik motor. Aku janji!”

Apa boleh buat…

Yoga berhasil meyakinkanku dan akhirnya akupun menuruti keinginannya.

Nyatanya Yoga benar. Jalan itu ternyata benar-benar mengasyikkan. Jalan setapak yang mempersingkat jarak antara rumah kami dengan sekolah.

Pohon akasia berbaris rapi di sepanjang tepi jalan dan ujung daunnya saling bertautan, sehingga jalan pun menjadi teduh. Daun-daun keringnya yang berguguran seakan menyapa perjalanan kami. Suara burung pun berkicau ramah. Semilir angin yang sepoi mematahkan sinar mentari yang menembus di sela-sela rimbunnya dedaunan.

Yang membuat aku lebih betah lagi untuk berjalan kaki setiap hari melewati jalan itu adalah adanya Yoga yang tak pernah lelah untuk bercerita tentang apa saja. Sampai-sampai aku pernah berpikir kalau dia nggak akan pernah kehabisan stok untuk dijadikan bahan obrolan. Sementara aku memang cenderung pendiam, sehingga aku lebih sering menjadi pendengar.
Entah mengapa, aku jadi suka mendengar suaranya. Diam-diam memperhatikan ekspresi wajahnya. Meliriknya saat kami berjalan beriringan. Aku suka melihat alis tebalnya bertaut saat dia menceritakan sesuatu yang serius. Tapi aku juga suka melihat bibir tipisnya yang tertawa lebar kala ada cerita yang lucu. Bahkan tak jarang semua itu kubawa dalam anganku menjelang aku tertidur di malam hari.

Lebih dari itu, Yoga adalah seorang sahabat yang sangat memahamiku. Tak ada sesuatu pun yang terlewat darinya. Dia tau makanan favoritku. Musik kesukaanku. Bahkan dia adalah orang yang pertama kali menyadari bila aku terkena flu. Maka percuma aku menutupi sesuatu darinya karena dia pasti menyadarinya.

“Nggak ingin cerita padaku?” Yoga bertanya sambil mengacak rambutku saat kami duduk di teras rumahku sabtu malam itu.
Terkadang dia memang main ke rumahku hanya untuk sekedar nongkrong di sana. Aku kadang heran melihat cowok secakep dia nggak pernah ada acara di sabtu malam. Minimal apel ke rumah cewek. Tapi aku nggak berani menanyakan hal itu padanya.

Aku berusaha menjauhkan kepalaku kala tangannya kembali menjangkau rambutku. Aku memang paling benci bila dia merusak rambutku yang sudah kusisir rapi. Yoga menyeringai melihat wajahku yang cemberut dan dengan kesal merapikan rambutku kembali. Namun dia justru sengaja menggodaku dengan berusaha terus meraih kepalaku.

“Sudah… Hentikan!” seruku gemas. “Kamu tau gak sih berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menyisir rambutku ini?” sungutku.
Yoga tergelak, sampai-sampai aku bisa melihat tubuhnya yang terguncang saat tertawa. Lesung di pipinya terlihat jelas.
Tak lama dia pun menghentikan tawanya saat dilihatnya aku yang tak bergeming. Yoga pun mendekatkan duduknya padaku. Kali ini dia meraih tubuhku ke dalam rengkuhannya seraya tersenyum.

“Ada apa, Viona?” suara Yoga melembut. “Aku merasa kalau saat ini ada yang sedang kamu pikirkan.”

“Kangen mama…” Jawabku singkat. Tapi itu sudah cukup membuatnya mengerti. Lengannya terasa kian erat memeluk bahuku.

“Itu wajar kok. Sudah satu tahun mama meninggalkanmu. Kamu pasti sangat merindukannya.”

Aku tertunduk diam memeluk lutut. Kubiarkan rambut panjangku tergerai menutupi sebagian wajah. Kugigit bibir berusaha menahan air mata yang memberontak membasahi bola mataku.
Dadaku kembali nyeri tiap ingatan kembali pada mama yang meninggal setahun yang lalu karena sakit kanker rahim. Rasa kehilangan tak pernah sirna dari hatiku. Aku masih saja merindukannya.

“Viona…..” tiba-tiba Yoga memanggilku. “Coba lihat bintang yang ada di atas sana!”
Kuangkat dagu dan mengikuti arah telunjuk Yoga yang menunjuk ke angkasa. Puluhan bintang bertaburan menghiasi langit yang kelam.

“Salah satu dari bintang-bintang itu adalah mama Viona yang akan terus menjaga dan melihatmu dari jauh. Dengan doa yang terus kamu berikan, mama pasti tenang disana.”

Mendengar kalimat Yoga, aku tak sanggup menahan kesedihanku. Aku pun hanyut luruh terisak dalam pelukannya.

Bintang…? Aku tersenyum tiap teringat kembali pada apa yang dia katakan malam itu. Seperti bicara dengan anak kecil saja mengumpamakan bintang sebagai orang yang sudah meninggal. Namun meski begitu aku tak ingin protes pada Yoga, karena aku bisa mengerti maksud mulianya yang ingin menghibur hatiku. Dia hanya ingin menenangkan batinku.

Aku masih menyusuri jalan ini. Ketika langit mulai berubah warna. Merah saga. Burung-burung terbang berkelompok kembali ke peraduan. Senja telah menyapa mengiringi langkahku yang berayun menelusuri setiap kenangan yang telah lama aku tinggalkan.

Namun tiba-tiba langkahku terhenti seketika. Wajahku mendadak pias. Mataku terpaku pada sebatang pohon tua di depanku. Pohon akasia itu! Kurasakan detak jantungku berpacu lebih cepat dan terasa sesak oleh kenangan yang tiba-tiba menyeruak.

Siang itu sepulang sekolah. Seperti biasa aku dan Yoga berjalan menyusuri jalan favorit kami. Jalanan dengan barisan akasia di sisinya. Tapi siang itu aku merasakan sikap Yoga yang berbeda dari biasanya. Yoga tampak lebih pendiam dari sebelumnya.

“Nggak ingin cerita padaku?” Tanyaku memberanikan diri setelah sekian waktu kami berjalan dalam kebisuan.
Aku melihat Yoga agak tersentak mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian dia tersenyum kecil. Pasti dia teringat kalau pertanyaanku itu adalah pertanyaan khas yang selalu dia lontarkan padaku jika merasakan ada yang berbeda dari diriku.
Yoga melangkah menepi. Tepat di bawah pohon akasia dia berhenti. Kuikuti langkahnya lalu berhenti tepat di hadapannya. Yoga menatapku lekat dengan sorot matanya yang tajam tapi terasa lembut bagiku. Aku berusaha membalas tatapannya dengan mataku.
Meski sekejap kemudian ada perasaan gelisah yang menggoyahkan keberanianku.
Mata hitam Yoga meredup, mengatup sebentar lalu kembali menatapku dengan sinar yang terasa asing buatku. Ada sesuatu yang berkilat dalam bola mata itu. Namun aku tak bisa menerjemahkannya dengan akalku.

“Viona…” Yoga melepaskan nafasnya dengan kuat, lalu meraih jemariku dan merangkumnya dalam genggaman. Bagai kehilangan daya, aku cuma bisa membiarkan.

“Aku cinta kamu...”

Lirih suara yang terdengar seperti selusin balon yang meletus tiba-tiba di telingaku. Aku tercekat. Tak dapat kusembunyikan keterkejutanku. Kuurai jemariku dari genggamnya dengan gugup. Ribuan kata di otakku hilang entah kemana. Tak sanggup mataku menatap Yoga. Namun tiba-tiba kudengar Yoga tertawa renyah tanpa beban. Diacaknya rambutku. Dan kali ini aku tak berpikir untuk menghindar.

“Maaf… Aku… “ suaraku terhenti di tenggorokan.

“Sstt…” Yoga menutup bibirku dengan jarinya. “Ini memang terlalu tiba-tiba. Kamu pasti perlu waktu. Aku akan menunggu jawaban itu. Dan aku ingin mendengar langsung dari bibirmu…”
Belum sempat bibirku mengeluarkan sepatah kata, perhatianku terusik pada suara tak jauh dari tempat kami berdiri.
Bagai dikomando, aku dan Yoga mengalihkan pandang pada seekor burung kecil yang terjatuh di bawah akasia. Yoga mendekat dan meraihnya.

“Sepertinya dia terjatuh dari sarangnya.”

Pandangan kami beralih ke atas pohon. Tiba-tiba tatapan kami berhenti pada sarang yang terletak cukup tinggi di salah satu dahan akasia.

“Tinggi sekali,” gumam Yoga.

“Tolong kembalikan dia…” desisku lirih. Aku tak tega membayangkan burung kecil itu terpisah dari induknya. Sekarang dia pasti gelisah karena tak melihat ibunya. Kubayangkan kesedihanku kala aku kehilangan mama. Perasaan burung kecil itu pasti seperti itu juga.

Sepintas tampak ada sedikit keraguan di wajah Yoga. Namun saat ia mendapati wajah cemasku, tanpa menungguku meminta dua kali iapun bergegas memanjat pohon akasia itu sambil menggenggam burung kecil itu. Dengan lincah, kakinya bergerak dari satu dahan ke dahan yang lain. Sebenarnya ada rasa cemas saat melihat tubuhnya semakin naik keatas.
Namun kemudian aku tersenyum lega saat Yoga berhasil meletakkan burubg itu di sarangnya.
Saat hendak kembali, kulihat Yoga agak terburu-buru. Sempat kulihat kakinya yang agak gemetaran.

Tiba-tiba mataku terhenti pada dahan yang hendak diinjaknya. Dahan itu terlihat rapuh.

“Yoga…” teriakku. “Dahan itu…” teriakanku terlambat menghentikan kakinya.

Warna langit telah berganti hitam. Tak ada lagi burung-burung yang terbang berarak. Sang surya telah tenggelam dipeluk malam. Lampu-lampu di tepi jalan sudah dinyalakan. Namun aku masih terpaku diam dibawah akasia. Kupandang langit yang hening tanpa bintang.

Hari ini, hampir sepuluh tahun sejak hari yang tak terlupa itu. Hari ini untuk pertama kalinya kulangkahkan kaki disini kembali.

Bukan aku tak ingin, tapi aku tak bisa. Sulit rasanya menerima kenyataan jika sahabatku telah pergi untuk selamanya.
Namun yang paling sulit adalah menghilangkan rasa bersalah dalam diriku. Aku menyesali apa yang sudah kulakukan saat itu. Terlebih saat aku dengar orang tua Yoga yang mengatakan jika Yoga takut ketinggian. Mereka merasa heran dengan kenekatan putranya memanjat pohon setinggi itu.
Kugigit bibir kala hati terasa nyeri.kristal bening bergulir di sudut mata. Jatuh membasahi pipi.

“Yoga…” bisikku lirih. “Andai saja saat ini kamu ada disini…”

Tiba-tiba aku melihat sebuah bintang muncul di angkasa. Aku hampir tak percaya saat menyadari jika itu adalah satu-satunya bintang di langit malam ini. Aku tersenyum padanya saat bintang itu mengerling padaku. “Betapa kuyakin itu kamu.”
Kataku sembari menatap lekat bintang itu.

“Aku datang kesini untuk memberimu jawaban. Andai saja bisa kuucapkan saat itu…”
Kali ini aku pun berteriak sekencang-kencangnya agar dia mendengarku dari tempatnya yang jauh. “Yogaaaa… Aku cinta kamu!”

Penulis,
Ratu Ariestyani Dwi Kusumah
Adiek Catatan Ratoe

Buat Lencana Anda

Rabu, 19 Januari 2011

Cinta Itu Dari Hati

  "Maaf,sayang...Aku nggak bisa nganterin kamu pulang hari ini. Aku ada janji dengan Cindy," Riyan menatap wajah Zhe yang lusuh dan berkeringat dengan wajah serius.
Kalau boleh jujur, sebenarnya saat itu ingin rasanya Zhe memaki Riyan dengan sejuta caci. Maklum saja, dia sudah menunggu hampir satu jam tapi ternyata sia-sia.
Namun dia tak bisa marah. Seperti biasa dia hanya tersenyum. Senyum yang dipaksa.
     "Nggak apa,"kata Zhe dengan lembut."Aku bisa pulang sendiri."
     "Ya sudah..."tukas Riyan. "Kamu hati-hati,ya? Nanti malam aku telepon."
Selesai berkata begitu,Riyan bergegas berlalu. Setengah berlari menghampiri Cindy yang berdiri menunggu di kejauhan.
Zhe memandang punggung kekasihnya dengan getir. Ini bukan kali pertama Riyan memperlakukannya begini. Sudah terlalu sering dia dibiarkan menunggu lama, tapi kemudian Riyan membatalkan janjinya dengan berbagai alasan.
Riyan memang termasuk cowok populer di sekolah. Zhe mengakui jika Riyan cowok yang menarik. Tak heran jika banyak teman-teman cewek mereka yang berusaha merebut perhatiannya.
Begitupun Riyan tidak pernah bisa menolak permintaan mereka. Nganterin ke kantin, perpustakaan, nonton, dan masih banyak lagi. Sampai-sampai Zhe merasa kerap diabaikan.
     Tapi gadis itu tak pernah protes. Zhe terlalu takut kehilangan cowok yang baru 6 bulan jadi pacarnya itu. Dia memilih untuk diam dan menerima setiap perlakuan Riyan kepadanya.
     "Pulang sendiri lagi, Zhe?"
Sebuah suara mengalihkan lamunan Zhe yang melangkah gontai menuju halte bus. Rangga menghentikan motornya tepat di samping Zhe. Gadis itu cuma mengangguk dan tersenyum kecut pada teman sekelasnya itu.
     "Naiklah! Aku antar.."
Tanpa banyak bicara, Zhe naik ke atas motor dan duduk di belakang Rangga.
     Motor melaju membelah siang yang terik dengan kecepatan sedang. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir keduanya. Mereka sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Rangga sangat memahami apa yang terjadi pada diri sahabatnya itu. Karena dia sering melihat sendiri bagaimana perlakuan Riyan pada Zhe. Awalnya Rangga ikut merasa kesal pada Riyan, namun akhirnya dia diam saja melihat Zhe yang selalu bersikap mengalah. Meski dalam hati sesungguhnya  dia masih tak terima.
     "Andai saja kamu mau menerima cintaku, aku pasti  bisa memperlakukanmu lebih baik dari Riyan," kata Rangga di suatu hari saat mereka berhenti di sebuah warung di tengah perjalanan pulang sekolah. Hari itu untuk kesekian kalinya Rangga mengantarkan Zhe pulang setelah Riyan membatalkan janjinya lagi.
Mendengar ucapan Rangga itu, Zhe tak berkata apa-apa. Dia hanya tersenyum tipis. Rangga memang pernah menyatakan perasaannya pada gadis itu, tapi Zhe menolaknya dengan halus. Rangga mengerti karena memang Zhe telah memiliki kekasih. Dia hanya ingin menyampaikan perasaannya itu tanpa berharap lebih pada gadis itu.
     "Apa yang kamu harapkan darinya, Zhe?"
     "Tak ada.." Zhe menghela nafas. "Aku hanya merasa istimewa bisa memilikinya." "Istimewa?"
     "Kau tau...Aku bukan gadis yang istimewa. Tak secantik Cindy. Tak semenarik Audy. Tapi Riyan memilihku. Aku merasa istimewa."
     "Kamu mencintainya?"
     "Mengapa kamu bertanya begitu?" Bola mata Zhe membulat menatap Rangga lekat.
     "Pertanyaanku sederhana. Mengapa kamu tak bisa menjawabnya?"
     "Aku......." Zhe terdiam. Dia merasa kebingungan mencari jawaban atas pertanyaan Rangga. Cinta? Apa itu? Pertanyaan itupun berkelebat di benaknya. Mengapa dia tak mengerti arti dari perasaan itu? Mengapa dia tak bisa menjawab pertanyaan Rangga yang sederhana itu?
Dan akhirnya diapun hanya mengangkat bahu sebagai jawaban.
     "Zhe..." Rangga menyentuh ujung jari Zhe. Tiba-tiba gadis itu merasa jantungnya berdesir merasakan sentuhan itu. Matanya tak sanggup menatap wajah Rangga. "Cinta itu dari hati. Dia takkan menyakiti. Cinta akan menjagamu dari segala luka. Menurutku apa yang kamu rasakan itu bukanlah cinta. Mungkin kamu hanya merasa bangga memiliki kekasih sehebat Riyan."
Kelembutan Rangga, matanya yang menatap Zhe dengan teduh, membuat Zhe merasa damai jika di dekatnya. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu yang selama ini terabaikan. Rangga bisa membuatnya merasa sangat nyaman.
     "STOP!!!" Teriakan Zhe yang tiba-tiba memaksa Rangga menekan rem dengan reflek. Untung suasana jalan sedang sepi sehingga tak terjadi tabrakan dengan kendaraan lain.
Motor berhenti di depan sebuah cafe. Zhe turun dan melangkah dengan santai ke arah sebuah meja di teras cafe tersebut.
Rangga mengikuti apa yang di lakukan gadis itu dengan tatapannya. Niatnya untuk mengikuti urung kala dilihatnya orang yang dituju oleh Zhe.
     "Bisa kita bicara di sini, Riyan?" Sapa Zhe hangat dengan senyumnya yang mempesona.
Riyan tampak terperanjat melihat kehadiran Zhe yang mendadak muncul di depannya. Dengan gugup, ditariknya jemari yang menggenggam tangan Cindy yang duduk di depannya.
     "Nanti aku telepon kamu, sayang..." kata Riyan setengah berbisik. Seolah tak mendengar suara Riyan, Zhe menarik sebuah kursi dan duduk diantara mereka.
     "Aku cuma minta waktumu sebentar." Zhe mengalihkan pandangannya ke arah Cindy yang tertunduk kikuk. "Aku tak keberatan jika Cindy mendengarnya."
     "Ada apa, sayang?" tanya Riyan dengan gelisah.
     "Aku ingin mengakhiri hubungan kita."
Wajah Riyan memucat dengan ekspresi terkejut yang sangat mendengar kalimat yang keluar dari bibir Zhe. Sejenak kemudian, dia memaksa untuk tersenyum.
     "Kamu cuma emosi. Sekarang kamu pulang ya? Nanti aku telepon."
     "Kamu tak perlu telepon aku lagi!" Suara Zhe terdengar lebih tegas dan serius. "Kita putus!"
     "Tapi sayang... Kenapa?" Riyan menggenggam jemari Zhe. Dan Zhe baru menyadari jika ternyata dia tidak merasakan debaran hebat seperti yang ia rasakan saat Rangga menyentuh ujung jarinya. Perasaaannya pada Riyan begitu datar.
"Aku mencintaimu, Zhe'" desis Riyan dengan wajah yang serius. Zhe tersenyum tipis.
     "Cinta datang dari hati. Cinta takkan menyakiti. Hatimu akan menuntunmu untuk menjaga perasaan orang yang kamu cintai. Tapi selama ini sikapmu tak pernah menjaga perasaanku," Zhe menarik tangannya dari genggaman Riyan. "Ternyata baru kusadari jika selama ini aku tak pernah mencintaimu."
Usai berkata begitu, Zhe bangkit dari duduknya dan berlalu meninggalkan Riyan yang termangu dalam penyesalan.
     Langkah kaki Zhe kian pasti saat dilihatnya Rangga yang masih setia menunggu di atas motornya. Menatapnya dengan matanya yang teduh dan penuh cinta. Zhe tersenyum lebar kala hatinya menemukan jawaban atas debar yang ia rasakan. Sebuah cinta yang ia temukan dari dalam hati....... Cinta untuk Rangga!


-SELESAI-


Adiek Catatan Ratoe

Buat Lencana Anda