Sabtu, 22 Januari 2011

Di Bawah Pohon Akasia Itu

Menyusuri jalan ini kembali, setelah hampir sepuluh tahun aku berusaha keras untuk menyingkirkan ingatan itu. Melupakan semua kenangan yang berhubungan dengan tempat ini. Namun hari ini kubulatkan tekad untuk melewatinya kembali. Ternyata memang tak semudah yang aku bayangkan.

Menyusuri jalan setapak ini lagi, ingatanku langsung terlempar pada cowok itu. Pada rambut ikalnya. Pada senyum yang selalu terlihat tiap dia bicara. Pada seraut wajahnya yang tampan. Serta pada celotehnya yang senantiasa meramaikan suasana perjalanan kami setiap berangkat dan pulang sekolah. Berjalan bersamanya menjadi terasa begitu menyenangkan dan lupa akan rasa lelah.

Aku ingat ketika Yoga ngotot mengajakku berjalan kaki ke sekolah. Pagi itu dia sengaja datang menjemputku ke rumah. Kami memang tinggal di kompleks yang sama. Hari itu adalah hari pertama aku sekolah di tempat yang baru. Aku baru pindah ke kota ini karena mengikuti Papa yang pindah tugas. Kebetulan disini aku berkenalan dengan Yoga yang satu sekolah denganku meski berbeda kelas. Dia duduk di kelas 3 SMU dan aku satu tingkat di bawahnya.

“Viona,,, Percaya deh sama aku. Kamu pasti akan suka berjalan kaki melewati jalan itu.” Yoga mengatakan itu setelah kusampaikan niatku ingin naik motor ke sekolah.

“Tapi khan jauh?” dahiku mengernyit. Kucoba menawar.

“Nggak terlalu jauh kok kalau kita lewat situ,” Yoga berusaha meyakinkan aku. “Coba sekali ini aja. Kalo kamu capek, besok kita naik motor. Aku janji!”

Apa boleh buat…

Yoga berhasil meyakinkanku dan akhirnya akupun menuruti keinginannya.

Nyatanya Yoga benar. Jalan itu ternyata benar-benar mengasyikkan. Jalan setapak yang mempersingkat jarak antara rumah kami dengan sekolah.

Pohon akasia berbaris rapi di sepanjang tepi jalan dan ujung daunnya saling bertautan, sehingga jalan pun menjadi teduh. Daun-daun keringnya yang berguguran seakan menyapa perjalanan kami. Suara burung pun berkicau ramah. Semilir angin yang sepoi mematahkan sinar mentari yang menembus di sela-sela rimbunnya dedaunan.

Yang membuat aku lebih betah lagi untuk berjalan kaki setiap hari melewati jalan itu adalah adanya Yoga yang tak pernah lelah untuk bercerita tentang apa saja. Sampai-sampai aku pernah berpikir kalau dia nggak akan pernah kehabisan stok untuk dijadikan bahan obrolan. Sementara aku memang cenderung pendiam, sehingga aku lebih sering menjadi pendengar.
Entah mengapa, aku jadi suka mendengar suaranya. Diam-diam memperhatikan ekspresi wajahnya. Meliriknya saat kami berjalan beriringan. Aku suka melihat alis tebalnya bertaut saat dia menceritakan sesuatu yang serius. Tapi aku juga suka melihat bibir tipisnya yang tertawa lebar kala ada cerita yang lucu. Bahkan tak jarang semua itu kubawa dalam anganku menjelang aku tertidur di malam hari.

Lebih dari itu, Yoga adalah seorang sahabat yang sangat memahamiku. Tak ada sesuatu pun yang terlewat darinya. Dia tau makanan favoritku. Musik kesukaanku. Bahkan dia adalah orang yang pertama kali menyadari bila aku terkena flu. Maka percuma aku menutupi sesuatu darinya karena dia pasti menyadarinya.

“Nggak ingin cerita padaku?” Yoga bertanya sambil mengacak rambutku saat kami duduk di teras rumahku sabtu malam itu.
Terkadang dia memang main ke rumahku hanya untuk sekedar nongkrong di sana. Aku kadang heran melihat cowok secakep dia nggak pernah ada acara di sabtu malam. Minimal apel ke rumah cewek. Tapi aku nggak berani menanyakan hal itu padanya.

Aku berusaha menjauhkan kepalaku kala tangannya kembali menjangkau rambutku. Aku memang paling benci bila dia merusak rambutku yang sudah kusisir rapi. Yoga menyeringai melihat wajahku yang cemberut dan dengan kesal merapikan rambutku kembali. Namun dia justru sengaja menggodaku dengan berusaha terus meraih kepalaku.

“Sudah… Hentikan!” seruku gemas. “Kamu tau gak sih berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk menyisir rambutku ini?” sungutku.
Yoga tergelak, sampai-sampai aku bisa melihat tubuhnya yang terguncang saat tertawa. Lesung di pipinya terlihat jelas.
Tak lama dia pun menghentikan tawanya saat dilihatnya aku yang tak bergeming. Yoga pun mendekatkan duduknya padaku. Kali ini dia meraih tubuhku ke dalam rengkuhannya seraya tersenyum.

“Ada apa, Viona?” suara Yoga melembut. “Aku merasa kalau saat ini ada yang sedang kamu pikirkan.”

“Kangen mama…” Jawabku singkat. Tapi itu sudah cukup membuatnya mengerti. Lengannya terasa kian erat memeluk bahuku.

“Itu wajar kok. Sudah satu tahun mama meninggalkanmu. Kamu pasti sangat merindukannya.”

Aku tertunduk diam memeluk lutut. Kubiarkan rambut panjangku tergerai menutupi sebagian wajah. Kugigit bibir berusaha menahan air mata yang memberontak membasahi bola mataku.
Dadaku kembali nyeri tiap ingatan kembali pada mama yang meninggal setahun yang lalu karena sakit kanker rahim. Rasa kehilangan tak pernah sirna dari hatiku. Aku masih saja merindukannya.

“Viona…..” tiba-tiba Yoga memanggilku. “Coba lihat bintang yang ada di atas sana!”
Kuangkat dagu dan mengikuti arah telunjuk Yoga yang menunjuk ke angkasa. Puluhan bintang bertaburan menghiasi langit yang kelam.

“Salah satu dari bintang-bintang itu adalah mama Viona yang akan terus menjaga dan melihatmu dari jauh. Dengan doa yang terus kamu berikan, mama pasti tenang disana.”

Mendengar kalimat Yoga, aku tak sanggup menahan kesedihanku. Aku pun hanyut luruh terisak dalam pelukannya.

Bintang…? Aku tersenyum tiap teringat kembali pada apa yang dia katakan malam itu. Seperti bicara dengan anak kecil saja mengumpamakan bintang sebagai orang yang sudah meninggal. Namun meski begitu aku tak ingin protes pada Yoga, karena aku bisa mengerti maksud mulianya yang ingin menghibur hatiku. Dia hanya ingin menenangkan batinku.

Aku masih menyusuri jalan ini. Ketika langit mulai berubah warna. Merah saga. Burung-burung terbang berkelompok kembali ke peraduan. Senja telah menyapa mengiringi langkahku yang berayun menelusuri setiap kenangan yang telah lama aku tinggalkan.

Namun tiba-tiba langkahku terhenti seketika. Wajahku mendadak pias. Mataku terpaku pada sebatang pohon tua di depanku. Pohon akasia itu! Kurasakan detak jantungku berpacu lebih cepat dan terasa sesak oleh kenangan yang tiba-tiba menyeruak.

Siang itu sepulang sekolah. Seperti biasa aku dan Yoga berjalan menyusuri jalan favorit kami. Jalanan dengan barisan akasia di sisinya. Tapi siang itu aku merasakan sikap Yoga yang berbeda dari biasanya. Yoga tampak lebih pendiam dari sebelumnya.

“Nggak ingin cerita padaku?” Tanyaku memberanikan diri setelah sekian waktu kami berjalan dalam kebisuan.
Aku melihat Yoga agak tersentak mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian dia tersenyum kecil. Pasti dia teringat kalau pertanyaanku itu adalah pertanyaan khas yang selalu dia lontarkan padaku jika merasakan ada yang berbeda dari diriku.
Yoga melangkah menepi. Tepat di bawah pohon akasia dia berhenti. Kuikuti langkahnya lalu berhenti tepat di hadapannya. Yoga menatapku lekat dengan sorot matanya yang tajam tapi terasa lembut bagiku. Aku berusaha membalas tatapannya dengan mataku.
Meski sekejap kemudian ada perasaan gelisah yang menggoyahkan keberanianku.
Mata hitam Yoga meredup, mengatup sebentar lalu kembali menatapku dengan sinar yang terasa asing buatku. Ada sesuatu yang berkilat dalam bola mata itu. Namun aku tak bisa menerjemahkannya dengan akalku.

“Viona…” Yoga melepaskan nafasnya dengan kuat, lalu meraih jemariku dan merangkumnya dalam genggaman. Bagai kehilangan daya, aku cuma bisa membiarkan.

“Aku cinta kamu...”

Lirih suara yang terdengar seperti selusin balon yang meletus tiba-tiba di telingaku. Aku tercekat. Tak dapat kusembunyikan keterkejutanku. Kuurai jemariku dari genggamnya dengan gugup. Ribuan kata di otakku hilang entah kemana. Tak sanggup mataku menatap Yoga. Namun tiba-tiba kudengar Yoga tertawa renyah tanpa beban. Diacaknya rambutku. Dan kali ini aku tak berpikir untuk menghindar.

“Maaf… Aku… “ suaraku terhenti di tenggorokan.

“Sstt…” Yoga menutup bibirku dengan jarinya. “Ini memang terlalu tiba-tiba. Kamu pasti perlu waktu. Aku akan menunggu jawaban itu. Dan aku ingin mendengar langsung dari bibirmu…”
Belum sempat bibirku mengeluarkan sepatah kata, perhatianku terusik pada suara tak jauh dari tempat kami berdiri.
Bagai dikomando, aku dan Yoga mengalihkan pandang pada seekor burung kecil yang terjatuh di bawah akasia. Yoga mendekat dan meraihnya.

“Sepertinya dia terjatuh dari sarangnya.”

Pandangan kami beralih ke atas pohon. Tiba-tiba tatapan kami berhenti pada sarang yang terletak cukup tinggi di salah satu dahan akasia.

“Tinggi sekali,” gumam Yoga.

“Tolong kembalikan dia…” desisku lirih. Aku tak tega membayangkan burung kecil itu terpisah dari induknya. Sekarang dia pasti gelisah karena tak melihat ibunya. Kubayangkan kesedihanku kala aku kehilangan mama. Perasaan burung kecil itu pasti seperti itu juga.

Sepintas tampak ada sedikit keraguan di wajah Yoga. Namun saat ia mendapati wajah cemasku, tanpa menungguku meminta dua kali iapun bergegas memanjat pohon akasia itu sambil menggenggam burung kecil itu. Dengan lincah, kakinya bergerak dari satu dahan ke dahan yang lain. Sebenarnya ada rasa cemas saat melihat tubuhnya semakin naik keatas.
Namun kemudian aku tersenyum lega saat Yoga berhasil meletakkan burubg itu di sarangnya.
Saat hendak kembali, kulihat Yoga agak terburu-buru. Sempat kulihat kakinya yang agak gemetaran.

Tiba-tiba mataku terhenti pada dahan yang hendak diinjaknya. Dahan itu terlihat rapuh.

“Yoga…” teriakku. “Dahan itu…” teriakanku terlambat menghentikan kakinya.

Warna langit telah berganti hitam. Tak ada lagi burung-burung yang terbang berarak. Sang surya telah tenggelam dipeluk malam. Lampu-lampu di tepi jalan sudah dinyalakan. Namun aku masih terpaku diam dibawah akasia. Kupandang langit yang hening tanpa bintang.

Hari ini, hampir sepuluh tahun sejak hari yang tak terlupa itu. Hari ini untuk pertama kalinya kulangkahkan kaki disini kembali.

Bukan aku tak ingin, tapi aku tak bisa. Sulit rasanya menerima kenyataan jika sahabatku telah pergi untuk selamanya.
Namun yang paling sulit adalah menghilangkan rasa bersalah dalam diriku. Aku menyesali apa yang sudah kulakukan saat itu. Terlebih saat aku dengar orang tua Yoga yang mengatakan jika Yoga takut ketinggian. Mereka merasa heran dengan kenekatan putranya memanjat pohon setinggi itu.
Kugigit bibir kala hati terasa nyeri.kristal bening bergulir di sudut mata. Jatuh membasahi pipi.

“Yoga…” bisikku lirih. “Andai saja saat ini kamu ada disini…”

Tiba-tiba aku melihat sebuah bintang muncul di angkasa. Aku hampir tak percaya saat menyadari jika itu adalah satu-satunya bintang di langit malam ini. Aku tersenyum padanya saat bintang itu mengerling padaku. “Betapa kuyakin itu kamu.”
Kataku sembari menatap lekat bintang itu.

“Aku datang kesini untuk memberimu jawaban. Andai saja bisa kuucapkan saat itu…”
Kali ini aku pun berteriak sekencang-kencangnya agar dia mendengarku dari tempatnya yang jauh. “Yogaaaa… Aku cinta kamu!”

Penulis,
Ratu Ariestyani Dwi Kusumah
Adiek Catatan Ratoe

Buat Lencana Anda

1 komentar:

  1. Hmmm...
    Pagi2 ada suguhan cerita yg bikin males bangun dari tmpt tidurku...
    Ceritanya asik,,,tapi kyknya terlalu monoton
    But i like it...

    Ciayoo,,semangat...n good luck..!

    BalasHapus