Sabtu, 05 Februari 2011

Menyibak Kabut Masa Silam

It's my life
It's now or never
I ain't gonna live forever
I just want to live while I'm alive
(It's my life)...


Suara Bon Jovi memekik lantang. Menyanyikan lagu kesukaanku yang kujadikan sebagai nada dering HPku. Ada nama Vaya muncul di layar HP. Namun aku tak bergeming dari tempat tidur. HP yang tergeletak tak jauh dariku tak kusentuh sedikitpun. Aku benar-benar tak ingin bicara dengan Vaya, adik semata wayangku itu. Karena aku bisa menebak apa yang hendak dibicarakannya denganku. Pasti tentang mama yang saat ini sedang sakit keras. Pasti Vaya ingin membujukku agar mau pulang ke Semarang secepatnya karena mama mengharapkan kehadiranku.

Mama...
Kupejamkan mataku rapat-rapat. Wajah renta mama terlihat lelah. Namun masih terlihat cantik di usia tuanya. Wajah itu tergambar jelas dalam pejamku. Aku rindu melihatnya tersenyum. Satu, dua, ku hitung waktu. Ya Tuhan, ternyata sudah dua puluh tahun aku tak lagi melihat senyumnya. Aku tak bisa melihatnya karena dua puluh tahun aku menjauhinya. Tak sekalipun pernah pulang ke pelukannya. Peluknya yang hangat. Yang mampu memberi ketenangan yang luar biasa disetiap rapuhku. Pelukan yang teramat erat kala aku terpuruk dalam kegagalan sekolahku.

"Tak ada orang yang berhasil tanpa mengalami kegagalan terlebih dahulu. Saat ini mungkin kamu belum berhasil lulus ujian, namun jika kamu mau belajar dari kegagalan ini, mama yakin kamu akan berhasil dalam ujian tahun depan."

Dengan suara yang lembut dan sarat kasih, mama membelai-belai rambutku. Aku terbenam dalam peluknya tanpa mengucap sepatah katapun.
Tak seperti Orang tua lainnya yang mungkin akan marah jika mengetahui anaknya tak lulus ujian di sekolah, mama justru memberiku kesabaran dan kelembutan yang menguatkan aku. Tanpa amarah ataupun omelan sedikitpun. Mama sungguh sangat luar biasa. Suara lembutnya mampu membuatku kembali bangkit. Meski saat itu aku sudah kehilangan semangat untuk melanjutkan studyku.
Namun sesungguhnya aku tak mau disalahkan seratus persen atas kegagalanku itu. Itu bukan tanggung jawabku sepenuhnya. Ada yang seharusnya lebih bertanggung jawab atas semua itu. Orang yang saat itu hanya menyeringai melihat kegagalanku. Padahal dia yang membuat konsentrasi belajarku menjadi kacau. Dia yang membuat aku bersumpah untuk tidak kembali ke rumah itu lagi setelah kuputuskan untuk pindah ke rumah Budhe yang merupakan kakak tertua almarhum Papa di Surabaya. Mengulang kelas di sebuah SMP swasta di ibukota propinsi Jawa timur itu.
Hingga kini kuputuskan untuk menetap di kota ini. Bahkan mama tak ku beri alamat Apartemenku karena aku tak ingin mengingat masa laluku lagi.Aku bener-benar ingin menghilang dari masa buruk itu.

***

Rupanya Vaya sudah berhenti 'menerorku' dengan teleponnya. Tampaknya dia sudah menyerah. Tak terdengar lagi suara Bon Jovi dengan lagu It's my lifenya. Kuambil ponselku yang diam membisu. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Vaya dan satu SMS. Kubaca pesan masuk itu :

"Mama benar-benar merindukan kakak. Pulanglah,Kak! Meski kepulangan kakak tak bisa menyembuhkan penyakit mama, namun setidaknya kakak bisa membuatnya tersenyum sebelum terlambat dan kakak menyesalinya..."

Air mataku benar-benar tumpah saat kubaca SMS dari Vaya itu. Mataku terpejam lagi. Sekelebat bayang mama hadir dan membuatku ingin cepat-cepat berlari pulang ke kota kelahiranku. Namun sekejap kemudian wajah mama terganti dengan seraut wajah orang yang sudah kumasukkan dalam daftar hitam di memori otakku. Wajah dengan senyum licik dan tatapan liar yang membuatku mual. Parut luka dalam hati terasa sakit lagi. Mencabik-cabik dada. Menyesakkannya. Sampai kapanpun aku tak akan pulang sebelum orang itu mati!

***

"Kamu sedang tak enak badan?" Glen menatapku cemas. Dilihatnya nasi goreng di depanku yang sedari tadi utuh tak tersentuh. Aku menggelengkan kepala.
"Ada sesuatu yang kamu pikirkan?" Glen bertanya lagi dengan kekhawatiran yang sama.
"Mamaku sedang sakit keras," Jawabku sambil menundukkan kepala. Pikiranku tenggelam dalam ingatan tentang mama.
"Aku ikut prihatin," ujar Glen tulus. "Boleh aku tahu, beliau sakit apa?"
"Kanker rahim stadium akhir."
"Astaga!" Glen terperanjat. "Kamu tak pulang ke Semarang?"
Aku terdiam. Tak tahu harus memberi jawaban apa pada cowok manis di depanku ini. Jika aku menggeleng, dia pasti akan merasa heran dan bertanya mengapa aku tak pulang di saat kondisi mama sedang kritis. Namun aku juga tak bisa bilang 'iya' karena hingga saat ini aku tetap dengan pendirianku untuk tidak pulang.
"Kalau masalah pekerjaan, kamu bisa ambil cuti. Bos pasti akan mengerti." Glen berusaha meyakinkanku. Namun sungguh bukan itu masalahnya, Glen! tukasku dalam hati. Kalau saja tak ada "monster" itu, aku pasti sudah pulang dari kemarin-kemarin. Dengan atau tanpa izin atasan.

Ditengah kebisuan kami, tiba-tiba HP Glen berbunyi. Sekilas aku meliriknya. Glen melihat layar HPnya lalu tersenyum sambil menekan beberapa tombol keypad, mengetik beberapa kalimat.
"Dari Shela?" Aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku.
"Iya," jawab Glen ringan setelah mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana panjangnya. "Nanti malam dia mengajakku makan malam. Hari ini dia ulang tahun. Aku sudah menyiapkan kado istimewa untuknya." Mata Glen berbinar saat mengatakannya.
"Kado apa itu?" tanyaku penasaran.
"Cincin..."Glen tersenyum lebar. "Malam ini aku akan melamarnya."
Aku terhenyak. Mulutku terbungkam erat. Dadaku terasa nyeri. Aku merasa dinding-dinding dalam ruang hatiku roboh dan remuk seketika. Glen elamar Shela? Itu wajar. Mereka sudah hampir tiga tahun berpacaran. Yang tidak wajar adalah perasaanku pada Glen. Ingin rasanya menangis saat itu juga. Namun aku sadar ini bukan tempat yang tepat untuk itu. Berpuluh pasang mata di cafe ini pasti akan langsung melihat dan mencibirku bila kukeluarkan air mataku sekarang.
Cinta yang selama ini kusmpan rapi dalam hatiku, kini menusuk-nusuk dalam dada. Cinta yang tak bisa ku sampaikan padanya. Karena tanpa ku katakanpun aku sudah tahu apa jawabannya. Glen takkan mungkin punya rasa yang sama denganku. Sekalipun dia belum memiliki kekasih secantik Shela, Glen takkan mungkin bisa membalas perasaanku.

"Hey...kok diam?" Suara Glen mengagetkanku. Kupaksakan sebuah senyum sambil menatap wajahnya. Hanya sekilas lalu kupalingkan mukaku. Oh Tuhan, aku tak sanggup melihatnya. Hati yang hancur membuatku menjadi orang yang tak berdaya. Tak kuasa menatap matanya, Aku takut Glen melihat mataku dan membaca isi hatiku. Dia tak boleh tahu tentang perasaanku. Tidak boleh! Aku tak mau dia membenciku dan menjadi muak padaku.
"Wajahmu pucat," Glen benar-benar sedang menatapku dengan matanya yang setajam mata burung elang. Aku tak sanggup lagi. Akupun beranjak dari kursi.
"Aku kembali ke kantor dulu. Sepertinya aku memang sedang tak enak badan."
"Oh...Baiklah. Kamu duluan saja. Biar nanti aku yang bayar ke kasir."
Aku hendak mengambil dompetku di saku, namun Glen buru-buru mencegah.
"Hari ini akuyang traktir."
Aku mengangkat bahu. Tak ingin berdebat,"Ok...Besok ganti aku yang traktir,"tukasku.
Glen menjawab dengan senyum. Aku buru-buru beranjak dari situ. Aku tak sanggup lebih lama lagi berada di dekatnya.

***

Vaya menyambutku dengan pelukan saat melihatku muncul di ambang pintu. Tangisnya tumpah di dadaku. Kupeluk bahunya dan iapun semakin erat mencengkeram pinggangku. Sejenak kami larut dalam kesedihan yang sangat.
"Mama sudah dimakamkan tadi pagi," suara Vaya terdengar lirih di antara isak, masih dalam dekapanku. Butiran air mata merembes di pipiku. Aku tahu kalau aku sudah terlambat sejak semalam kuterima SMS dari Vaya yang mengabarkan tentang kematian mama. Bila pada akhirnya aku putuskan untuk pulang ke kota ini lagi, semata karena Vaya yang mendesakku. Aku tak tega melihatnya sebatang kara dan menanggung kesedihan seorang diri. Kali ini aku ingin menemaninya.
Kutepiskan egoku. Kusingkirkan sejauh mungkin sakit hatiku. Sekarang Vaya sangat membutuhkanku. Hanya aku yang dimilikinya saat ini. Meskipun Vaya tak tinggal seorang diri di rumah ini. Namun aku tahu jika orang yang tinggal bersamanya bukanlah orang yang bisa diandalkan. Orang yang selama ini kusebut 'monster' dan menjadi satu-satunya orang yang ku benci di dunia ini.

"Lho...KOk nggak masuk?" Suara itu! Tiba-tiba darahku menggelegak. Tubuhku bergetar menekan kebencian yang tiba-tiba menguasaiku. Suara yang sangat ku kenal.
"Kakak baru datang dari Surabaya,Pa,"Vaya melepas pelukannya dariku. Lelaki yang dipanggilnya dengan sebutan 'papa' itu berdiri tegak di depanku. Dengan wajah tanpa dosa. Seolah dia tidak menyadari jika perbuatannya pada dua puluh tahun yang lalu itu telah menorehkan luka yang sedemikian dalam di hatiku. Yang membuatku bertekad untuk tidak kembali lagi ke rumahku.
"Kenapa nggak di ajak masuk?" Pria itu menatapku lekat. Sambil tersenyum. Seketika perutku menjadi mual melihat senyumnya.
"Ayo kak...Aku antar ke kamar kakak." Vaya menggamit lenganku. Aku mengikuti langkah Vaya tanpa bersuara ataupun melihat ke arah 'monster' itu. Pram, lelaki itu diam saja melihat sikapku yang dingin dan angkuh. Aku ingin dia tahu jika aku bukanlah bocah dua puluh tahun yang lalu.Dan sekarang ini dia hanyalah seorang kakek tua yang takkan bisa melawanku.

*

Tak banyak yang berubah dari kamarku. Barang-barangku masih terawat dan tertata rapi. Perabotannya tak bergeser sedikitpun. Seolah-olah mama benar-benar menunggu kepulanganku.
Ah...Hatiku berdesir saat melihat sebuah foto yang terpasang di salah satu dinding kamar. Foto mama yang sedang memelukku ketika aku masih berseragam putih biru. Usiaku baru lima belas tahun saat itu. masa yang seharusnya kulewati dengan ceria bersama teman-temanku. Namun kenyataannya aku justru melaluinya dengan kesendirian, kehampaan, kebencian dan amarah. Semua gara-gara luka yang ditikamkan Pram padaku. Hidupku menjadi berubah. Aku yang sebelumnya ceria berubah menjadi pendiam dan pemarah.
Sampai kini aku masih membawa luka yang tak tersembuhkan itu. Aku berlari dan bersembunyi dalam kesibukanku sebagai manager di salah satu perusahaan besar. Secara finansial, kehidupanku sudah mapan. Aku tinggal di sebuah apartemen mewah di Surabaya. Kemana-mana aku pergi dengan mengendarai kendaraan roda empatku. Karierku cemerlang. Wajahkupun sebenarnya tidak jelek. Bahkan aku mewarisi wajah bule nenekku, ibu dari Papa yang berasal dari Italia.
Tak sedikit lawan jenis yang ingin menjadi pendamping hidupku. Namun aku tak bisa membuka hatiku pada mereka. Itulah sebabnya hingga usiaku yang sekarang sudah menginjak angka tiga puluh lima tahun, tak terpikir sedikitpun di benakku untuk berumah tangga.

Huff... Aku menghela nafas berat. Tiba-tiba ingatanku kembali pada mimpi buruk duapuluh tahun silam. Ketika tiba-tiba mama pulang ke rumah dengan seorang pria. dua tahun mama bertahan dengan kesendirian sejak papa meninggal karena kecelakaan mobil yang dikendarainya. Jika pada akhirnya mamamengenal dan jatuh cinta dengan seorang pria, aku tidak keberatan. Mama berhak bahagia. Akupun sebagai anak tunggal, terkadang juga merasa kesepian.
Pram!Itunama yang dia sebut waktu dia mendekatiku dan memperkenalkan dirinya. Tangannya terulur dan senyumnya langsung memikat hatiku. Ku sambut uluran tangannya dan diapun menggenggamnya erat. Akupun langsung memberi nilai delapan untuknya sebagai calon ayahku.

Sejak mama memutuskan untuk menikah dengan Pram,aku merasa hidupku menjadi sempurna. Kehadiran Pram mampu melengkapi hidupku yang kosong dan merindukan seorang ayah. Pram sangat memanjakanku. Bahkan terkadang melebihi perhatian mama padaku.Tak jarang dia tiba-tiba memeluk dan menggodaku dengan kerlingan nakal. Namun aku menganggap itu sebagai bentuk kasih sayang, terlebih aku adalah satu-satunya anak buat mama dan Pram. Tampaknya mama juga senang melihat kedekatan kami. Saat itu aku benar-benar bahagia. Kebahagiaan itu kian lengkap ketika mama hamil dan melahirkan Vaya.
Namun kesempurnaan itu tidak bertahan lama. Padasuatu siang sepulang sekolah kudapati rumah dalam keadaan sepi. Pram menyambutku hangat membuka pintu. Aku heran melihatnya di rumah pada jam kerja. Mamapun tak terlihat di rumah.
"Mama dan Vaya pergi ke Kudus menjenguk tante Aira yang kemarin melahirkan," Seaakan bisa membaca pikiranku, Pram menjelaskan tanpa kutanya. "Aku sedang tak enak badan, makanya aku izin pulang lebih cepat."
Lagi-lagi Pram bisa menebak apa yang kupikirkan. Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Pram mengekor di belakangku. Aku bersikap tak acuh, karena dia sudah terbiasa masukke dalam kamarku.
Saat aku membuka kancing kemeja seragamku, tiba-tiba Pram memelukku dari belakang. Nafasnya yang panas terdengar jelas di telinga. Dalamkeadaan terkejut, aku berusaha mendorong tubuhnya. Tapi tentu saja kekuatanku sebagai bocah lima belas tahun tak sebanding dengannya. Tuuhnya lekat menempel di tubuhku. Tak bergeser sedikitpun meski aku sudah berusaha memberontak.
"Jangan menolak!" Pram berbisik di telingaku dengan nafas yang memburu. "Sejak pertama melihatmu, aku menginginkanmu."
Aku diam dengan tubuh menggigil. Ketika tangannya mulai meraba menggerayangiku, aku tak bisa bergerak. Hanya hatiku yang menghjat menyumpahinya. Detikitu juga simpatiku padanya berubah menjadi amarah bahkan benci. Aku mengutuknya kala lelaki biadab itu berhasil mendapatkan keinginannya. Tak peduli meski aku harus membayarnya dengan air mata yang terus mengalir deras menahan sakit dan dendam yang luar biasa menikam.

***

Aku nyaris terlonjak kala sebuah ketukan halus mengembalikan kesadaranku darilamunan masa silam.
"Masuk, Vay!" Seruku tanpa beranjak dari tempat tidur. Pintu terkuak pelan. Aku melompat dari tidurku saat kulihat bukan Vaya yang muncul seperti dugaanku.
Pram masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Tiba-tiba rahangku mengeras. Jemariku mengepal melihat sosok orang yang selama ini ku anggap sebagai "monster" datang memasuki kamarku.
"Aku bawakan kopimu ke sini karena ku pikir kau mungkin terlalu capek untuk keluar kamar,"Pram bicara tanpa kutanya. Meletakkan nampan berisi kopi di atas meja.
"Mana Vaya?" Tanyaku dingin.
"Sedang keluar membeli lauk makan malam." Pram menutup pintu kamar. Aku mencium gelagat tak baik dari sikapnya.
"keluar!!" Bentakku. Sejenak Pram tertegun mendengar suaraku yang keras. Tapi kemudian dia menyeringai. Menunjukkan senyumnya yang membuatku muak. Sekilas mataku menangkap sebuah benda berkilat yang di selipkan di balik saku celananya. Sebuah pisau!
"Apa maumu?" Kutatap matanya penuh benci. Lelaki tua itu melangkah mendekat. Aku tak sempat menghindar kala pisau di tangannya ditodongkan kepadaku.
"Selama ini aku menunggumu." Ujung pisau menyentuh pipiku. Dingin. "Aku sedikit terkejut melihat penampilanmu yang sekarang. Wajah indomu sangat mempesona. Aku ingin mencumbumu seperti dua puluh tahun lalu." Pram terkekeh. Aku semakin muak mendengar tawanya.
"Dasar binatang!" Umpatku.
Pram mengangkat daguku, menempelkan pisau di leherku dan tersenyum licik.
"Aku menginginkanmu..." Wajah Pram mendekat ke wajahku. Bibirnya menyentuh bibirku. Rasanya isis perutku memberontak. Ingin muntah. Namun sepertinya Pram menikmatinya. Tangannya mulai meraba ke seluruh bagian tubuhku. Melucuti kancing kemejaku satu persatu. Aku berdiri mematung dengan tubuh menggigil menahan kebencian yang kembali merasukiku. Mataku tak berkedip menatap ujung pisau yang masih tertodong di leherku.

Tiba-tiba pintu kamar terkuak!
Vaya berteriak histeris melihat kami. Pram terkejut melepas tangannya yang berusaha membuka ikat pinggangku. Melihat Pram lengah aku berusaha merebut pisau di tangannya. Namun dengan sigap Pram berusaha mempertahankannya. Terjadi pergelutan di antara kami memperebutkan pisau itu.
"Kali ini aku takkan menyerahkan diriku padamu. Kamu salah jika menilaiku seperti bocah dua puluh tahun lalu."
Jleb! Mataku menghujamnya dengan sorot kebencian yang selama ini bersemayam di hatiku. Pram terhuyung sambil memegangi perutnya. Tanganku terasa hangat dan basah. Warnanyapun menjadi merah. Penuh dengan darah Pram yag keluar saat pisau menancap di perutnya. Pram sempat melihat mataku yang berlumuran dendam sebelum pada akhirnya tubuhnya ambruk meregang nyawa diiringi jeritan Vaya yang menggema di kesunyian malam.

*****

Aku terpekur diam di sudut dinding yang lembab dan dingin. Dendamku telah berakhir. Rasa benci itu telah kuleburkan pada Pram kala kutancapkan pisau di perutnya.
Sudah...! Semua sudah terbalas. Sudah kupaksa Pram untuk bertanggung jawab atas perbuatannya padaku. Sekarang akupun telah bertanggung jawab atas perbuatanku di balik jeruji besi ini. Namun aku tak bisa mengembalikan nyawa Pram. Begitu pula Pram yang tak bisa mengembalikan hidupku yang telah terbuang dalam trauma yang kurasakan sepanjang waktu. Trauma yang membuatku memilih untuk hidup melajang hingga di usiaku kini. Yang membuatku tak pernah mengenal apa itu cinta.

Tiba-tiba bayangan Glen berkelebat. Hanya pada Glen aku bisa merasakan rasa itu. Kelembutan Glen mampu membuka hatiku. Namun cinta itu berlabuh pada orang yang salah. Aku takkan pernah bisa memilikinya. Bahkan untuk mengatakan perasaanku padanyapun aku tak bernyali. Dia takkan bisa memahami hatiku.
Sungguh ini bukan pilihanku. Ini bukan keinginanku. Rasa itu hadir tanpa ku pinta. Hanya pada Glen aku bisa merasakannya. Tak bisa pada yang lain.
Lalu untuk apa lagi kupertahankan nafasku? Glen akan segera menikah dengan wanita pilihannya. Apalagi yang ku cari dalam hidupku?

Pikiranku membeku. Kabut di depan mata menjadi kian gelap. Tiba-tiba kulihat sinar mengerling di sudut dinding. Kuamati kilau yang berasal dari benda tipis itu. Untuk terakhir kalinya otakku bekerja. Tangan kananku meraih benda yang ternyata sebuah lempengan logam mirip silet.
Dalam hitungan detik mendadak pandanganku menjadi gelap. Kurasakan jiwaku yang melayang lepas meninggalkan jasad yang roboh diatas lantai yang dingin. Pergelangan tangan kiriku terkulai dengan nadi yang tersayat. Darahpun menggenang kental.
Sayup kudengar suara-suara panik berteriak sebelum aku benar-benar meninggalkan dunia.
"Ada yang bunuh diri...! Di blok pria nomer sepuluh. Terpidana kasus pembunuhan, namanya Aldi Ferdiansyah!"


-S E L E S A I-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar