Jumat, 18 Februari 2011

Rahasia dua hati

"Namaku Hans."
"Saya tidak tanya nama anda," cetusku dengan suara meninggi. Seluruh pasang mata yang sedari tadi memperhatikan kami menjadi ricuh. Fenita tak henti-hentinya menarik ujung rokku. Namun aku tak menghiraukannya. "Saya hanya ingin mengingatkan anda jika kantor ini ada aturannya. Tentunya anda bisa membaca adanya larangan merokok di ruangan ini. Jadi saya minta anda segera mematikan rokok anda yang mengganggu kenyamanan karyawan di sini."
Pria yang bernama Hans itu hanya memamerkan sederet gigi putihnya padaku. Tapi aku tak terkesan sama sekali. Aku memang karyawan baru di sini, namun aku harus bersikap profesional. Menghadapi tamu seperti itu aku harus bersikap tegas. Seenaknya saja orang itu merokok di tempat umum,terlebih di ruang berAC seperti ini.
"Penampilan anda terlihat berpendidikan," Aku melanjutkan lagi. "Tentunya anda paham jika dalam ruang berAC tidak diperkenankan merokok. Terlebih ada peringatan dari pemerintah, bahwa merokok itu berbahaya. Dapat mengganggu kesehatan jantung, menyebabkan impotensi dan mengganggu pertumbuhan janin. Ditambah lagi baru-baru ini MUI mengeluarkan Fatwa yang menyatakan bahwa merokok itu haram..."
Omonganku mulai ngelantur. Aku ingin pria itu mengerti maksud baikku. Mataku menatapnya tajam. Yang kutatap hanya cengar-cengir di tempat.
"Arini!"
Sebuah suara berteriak marah memanggilku. Pak Daniel berjalan mendekati meja kerjaku dengan langkah panjang.
"Apa-apaan kamu?" Supervisorku itu bertanya dengan nada membentak.
"Saya hanya mencoba memperingatkan Bapak ini tentang tata tertib perusahaan kita, Pak," Aku membela diri. Pak Daniel hendak membuka mulut, namun pak Hans menahannya.
"Sudahlah, Dan," cegah pak Hans dengan kalem. "Jangan marahi dia. Suruh Arini ke ruanganku, ya?"
Pria itu tersenyum padaku, kemudian membalikkan badan dan berlalu. Aku bengong tanpa suara. Pak Daniel menatapku dingin.
"Kamu dengar kan? Kamu harus segera ke ruangan Pak Hans!"
Pak Danielpun langsung meninggalkanku dengan mukanya yang semerah kepiting saos padang. Kenapa dia semarah itu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Semakin bingung melihat sikap orang-orang disekitarku yang berbisik-bisik bahkan ada yang memandang iba padaku. Saat aku menoleh pada Fenita, keherananku makin menjadi melihat wajahnya yang memucat.
"Ada apa sih, Fen?" Akupun bertanya padanya.
"Mampus lu, Ar..." Bagas menepuk bahuku dari belakang.
"Maksud lu??" Aku mendelik padanya. Bagas nyengir lalu pergi.
"Kamu benar-benar nggak tau, Ar?" Fenita berbisik dengan suara yang bergetar. Aku menggeleng dengan bingung.
"Pak Hans itu siapa? Kenapa Pak Daniel menyuruhku ke ruangannya? Ruangan yang mana?"
"Ruang komisaris. Pak Hans pemegang saham terbesar di perusahaan ini."
Suara pelan Fenita meledak di telingaku. Aku terperangah dengan mulut terbuka. Kuharap Fenita bohong padaku. Tapi nyatanya tak ada ekspresi dusta sedikitpun di wajahnya. Benar kata Bagas, aku benar-benar mampus!


Cukup tiga kali ketuk, sebuah suara langsung meneriakkan kata "masuk". Rasanya pintu di depanku sepuluh kali lebih berat dari pintu-pintu yang pernah kutemui sebelumnya. Meski itu cuma perasaanku saja. Aku melangkah dengan ragu. Serasa memasuki ruang sidang di pengadilan dengan dakwaan pembunuhan dan terancam hukuman mati.
Pak Hans duduk di kursinya, sibuk menulis sesuatu di atas meja tak memperhatikan kedatanganku sama sekali. Dingin AC menembus kulitku, membuatku menggigil. Tanpa suara, aku berdiri di depan mejanya. Berharap dia menyadari kedatanganku agar segera melihatku yang terpaku kikuk. Seseorang yang 10 menit yang lalu baru saja kumaki-maki di depan banyak orang, sekarang sedang memegang nyawaku. Nasibku ditangannya. Dia bisa saja memecatku saat ini juga.
"Duduk!" Pria yang kuperkirakan berusia 40 tahunan itu membuka suara tanpa mengangkat kepalanya. Dia masih menulis sesuatu. Suaranya sangat berwibawa. Bagai kucing dicocok ikan asin, akupun duduk di hadapannya. Menyimpan tanganku di atas paha.
"Pak Hans..." ku beranikan diri untuk bersuara. "Saya minta maaf..."
"Nama kamu Arini ya?" Akhirnya dia melihatku dan bertanya. Mengabaikan permintaan maafku. Aku mengangguk.
"Benar, Pak," jawabku. "Saya..."
"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" Lagi-lagi dia memotong kalimatku.
"Baru satu minggu, Pak."
"Hmmm..." dia bergumam.
"Tolong jangan pecat saya, pak!" Pintaku dengan keberanian yang tersisa. Mungkin suaraku terdengar mengiba. Aku teringat ibuku yang seorang janda dan tidak bekerja. Hanya mengandalkan uang pensiun almarhum Bapak. Sementara dua adikku masih membutuhkan banyak biaya untuk sekolah mereka. Akulah satu-satunya harapan mereka. Aku harus mempertahankan pekerjaan yang sudah susah payah kudapatkan ini. Mengingat minimnya lapangan pekerjaan sekarang ini. Pak Hans tertawa keras melihat mukaku yang hampir menangis.
"Siapa bilang kamu akan dipecat?" Pria itu tersenyum. Kuberanikan diriku menatap wajahnya yang tampan.
"Jadi...Saya tidak dipecat khan, Pak?"
"Hey, kau seorang yang berani, cerdas dan tegas. Perusahaan ini membutuhkan orang sepertimu."
Aku bersorak dalam hati. Benar-benar jawaban yang melegakan. Benar-benar pemimpin yang bijaksana.
"Terima kasih, Pak."
"Pertahankan cara kerjamu itu. Terkadang kita memang perlu bersikap sedikit lebih tegas pada orang yang tidak patuh pada tata tertib perusahaan."
"Benar, Pak."
Aku manggut-manggut. Tiba-tiba merasa plong dengan sikap Pak Hans yang diluar perkiraanku.
"Baiklah...kamu bisa kembali bekerja!"
"Baik, Pak...Terima kasih."
Aku bangkit dari kursiku. Setelah tersenyum padanya, aku balikkan badan. Namun baru tiga langkah, tiba-tiba Pak Hans memanggilku.
"Arini!" Aku menoleh kembali padanya. Pria itu tersenyum dan mengedipkan mata. "Minta nomer hapenya donk..."

Bos yang aneh!
Aku menggerutu. Sudah hampir satu minggu sejak peristiwa itu terjadi. Dan kini aku punya aktivitas baru. Membalas SMS dan menerima telepon dari Pak Hans. Hampir tiap satu jam sekali dia mengirimiku SMS. Menanyakan kabar, mengingatkan aku agar segera makan, agar tidak tidur larut malam, dan beberapa hal kecil lainnya. Benar-benar tak kusangka, caci makiku padanya saat itu meninggalkan kesan yang dalam buatnya. Bahkan dia pernah secara terang-terangan menyatakan cintanya padaku.
Sedikit GR juga mendengarnya. Siapa coba yang tidak merasa bangga, disukai Bos besar seperti dia. Apalagi wajahnya juga ganteng. Postur tubuhnya juga tinggi dan tegap. Pria seusia Pak Hans memang terlihat sangat menarik. Dan yang kudengar dari Fenita, Pak Hans sudah bercerai dengan istrinya sejak 5 tahun yang lalu.

Tapi tunggu dulu!! Meskipun aku mengaguminya, namun aku tak bisa menerima cintanya. Bukan karena perbedaan usia kami yang terpaut hampir 25 tahun. Namun karena aku sudah memiliki Alvan. Alvan yang baik, penuh perhatian, walau kadang meledak-ledak bila sedang cemburu. Namun aku justru menyukai sifatnya itu. Tanpa cemburu, cinta tak ada artinya bukan?
"Arini!" Suara Ibu memanggilku dari balik pintu kamar.
"Iya, bu?" sahutku.
"Alvan sudah menunggu."
"Baik, bu..." bergegas kurapikan gaun malamku dan beranjak keluar dari kamar.

Malam ini Alvan bermaksud membawaku ke rumahnya dan memperkenalkan aku pada Orang tuanya. Bahkan dia bilang ingin lebih serius berhubungan denganku.
"Bagaimana penampilanku? Sudah cukup pantaskah?" Aku bertanya pada Alvan yang sedang menungguku di ruang tamu. Saat ini penampilan menjadi sangat penting buatku. Meski Alvan mengatakan jika Orang tuanya tidak akan mempersoalkan perbedaan sosial di antara kami, namun setidaknya aku ingin memberi kesan pada mereka jika aku cukup pantas mendampingi putra tunggal mereka.
"Hmm...Sangat cantik," Alvan memuji. Menatapku mesra. "Rasanya aku jatuh cinta lagi padamu."
Aku tergelak. Memberinya sebuah pelukan di pinggang. Tubuhnya setinggi Pak Hans. Bahkan sekilas aku melihat kemiripan di wajah mereka. Suara merekapun hampir sama. Hanya saja kulit Alvan lebih putih dari kulit Pak Hans. Rambutnya lebih hitam bila dibandingkan rambut pak Hans yang sudah mulai beruban.
Huft...! Aku mendengus. Mengapa pula aku malah membandingkan Alvan dengan Pak Hans? Apa yang kupikirkan?
Belakangan ini aku bahkan secara diam-diam mulai menanti telepon dan SMS-SMSnya. Akupun jadi lebih rajin datang ke tempat kerja. Berangkat lebih pagi karena ingin cepat-cepat bertemu dengannya. Diam-diam aku menikmati perhatian yang diberikannya padaku. Kedewasaannya membuatku nyaman. Sikapnya yang seolah selalu ingin melindungiku membuatku merasa aman.
Tidak! Kusingkirkan pikiran itu dengan cepat. Kupeluk pinggang Alvan lebih erat. Aku tak mau hanyut oleh pikiran yang terbagi. Aku memiliki Alvan dan aku sangat mencintainya. Pria di sampingku inilah yang telah mengisi ruang hatiku. Tak ada tempat lagi untuk orang lain termasuk Pak Hans.

Tapi benarkah begitu? Nyatanya ketika aku melangkahkan kaki memasuki rumah Alvan, lagi-lagi pikiranku melayang dan berhenti pada ponselku yang sengaja ku tinggal di rumah. Apakah Pak Hans meneleponku? Ataukah saat ini dia sedang cemas karena aku tak membalas SMSnya? Ah...mengapa pikiranku jadi konyol begini? Pikiranku menjadi gelisah. Detak jantung berpacu lebih cepat dari sewajarnya saat kakiku melangkah makin masuk ke dalam rumah Alvan.
"Papa sengaja menyempatkan diri datang kesini karena ingin berkenalan dengan calon menantunya."Alvan menggenggam tanganku dan berbisik. Melangkah pelan di sampingku.
"Kamu khan tahu jika orang tuaku sudah bercerai sejak aku duduk di bangku SMU?"
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Alvan. Dia memang pernah bercerita tentang keluarganya yang broken home. Tentang kedua orang tuanya yang terpaksa berpisah karena sudah tidak menemukan lagi kecocokan dalam berumah tangga. Namun meski begitu, konon menurut Alvan, hubungan kedua orang tuanya pasca perceraian tetap baik. Karenanya Alvan tak merasakan benar-benar kehilangan sejak Orang tuanya berpisah.

"Arini?" Seorang wanita cantik berkulit putih bersih menyambut kedatangan kami dengan wajah sumringah. Suaranya lembut.
"Benar, tante," Aku mengangguk sopan, tersenyum padanya.
"Cantik sekali," Mama Alvan memelukku hangat. Hai, aku suka dengan keramahannya. Kurasa aku bisa diterima di keluarga ini. Aku langsung jatuh hati pada sikap mama Alvan yang hangat.
"Ehem!" Sebuah suara berat berdehem, meminta perhatian kami. Mama Alvan melepas pelukannya.
"Arini, kenalkan...papanya Alvan," Mama Alvan memperkenalkan aku pada pria itu. Aku terkesiap melihatnya. Begitu pula pria tersebut. Ada ekspresi terkejut yang samar tersirat di wajahnya. Tubuh tegapnya berdiri di hadapanku. Kuangsurkan tanganku dengan canggung. Dia menggenggamnya dengan erat.
"Arini," kataku memperkenalkan diri.
"Hans."
Hampir pingsan aku mendengarnya. Namun Pak Hans menggenggam tanganku lebih erat, tersenyum padaku penuh misteri. Saat kuberanikan diri memandangnya, matanya berkedip padaku. Oh my God!


-SELESAI-

1 komentar: