Sabtu, 19 Maret 2011

Menanti sebuah kata maaf

Mendung menyapa pagi ini. Kupandang langit yang kelam dengan rasa gelisah. Bisa dipastikan, sebentar lagi hujan akan turun. Aku terpikir akan Youra. Gadis mungil dengan rambut hitamnya yang tergerai dibahu yang selalu lewat di depan halaman rumahku tiap dia berangkat ke sekolah. Ah, semoga pagi ini dia tak lupa membawa payungnya.
Gerimis mulai berbaris ketika aku melihat gadis berseragam putih abu-abu itu berjalan di depan rumahku. Seperti biasa, dari balik payung birunya, dia menyempatkan diri menoleh ke arahku. Sebentar saja, kemudian bergegas melanjutkan langkah menuju sekolah.
Kuikuti langkah kecilnya. Menyusuri jalan setapak yang basah. Sesekali gadis itu melompat kecil menghindari genangan air agar sepatunya tidak basah.
Jaraknya tak lebih dari 300 meter dari rumah. Sesampai di depan kelas, Youra melipat payungnya dan menyandarkannya di dinding, melangkah menuju bangkunya. Di sana sudah ada Tia teman sebangkunya yang sudah menunggu.

"Pagi, Youra..." sapa Tia hangat.
"Pagi juga, Tia..." Youra tersenyum manis. Menyimpan tas di bawah meja. Merapatkan jaket yang membalut tubuh mungilnya.
"Kehujanan?"
"Tidak juga," Youra menggeleng. "Aku pakai payung kok. Tapi dingin betul pagi ini."
"Kalau begitu, kita ke kantin yuk...Hangatkan badan dengan segelas teh manis hangat."
"Ayo deh...Kita masih punya waktu sebelum bel masuk berbunyi."
Youra dan Tia melangkah keluar beriringan. Satu persatu teman mulai berdatangan. Aku masih duduk diam di bangkuku, di sudut kelas yang gelap dan lembab. Seorang diri, tak ada satupun yang peduli.

Betapa inginnya aku bicara pada Youra. Tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Mana mungkin aku tiba-tiba datang padanya kemudian mengupas masa lalu kami? Aku tak bisa melihat gurat luka di wajahnya lagi.
Namun begitu, aku harus segera bicara dengannya. Aku tak punya banyak waktu lagi untuk menunda. Di sini aku gelisah. Lorong gelap di depanku kian memudar. Sebentar lagi lorong itu akan tertutup rapat dan menghilang. Dan aku akan tertinggal di sini. Dengan rasa gelisah yang akan terus membuatku menyeret langkah dengan beban yang kian berat. Tak akan ada lagi kesempatan kedua untukku. Aku akan terkunci di tempat ini. Sendiri di gerogoti penyesalan yang perlahan akan menghancurkanku.

"Waduh!! Aku lupa mengerjakan PR matematika..." Tiba-tiba Youra memekik diantara riuh teman-temannya yang sedang berbincang. Gadis itu sudah kembali ke bangkunya bersama Tia. Tia tertawa keras melihat kepanikan temannya itu.
"Ngapain aja sih kok sampai lupa ngerjain PR?" Tia mengeluarkan sebuah buku bersampul cokelat dari dalam tasnya. "Nih pinjam punyaku!"
Youra nyengir menerima buku yang disodorkan Tia kepadanya. Aku menggelengkan kepala melihat gadis manis itu dengan terburu-buru menyalin PR Tia ke dalam bukunya.
"Untung aku punya sahabat sebaik kamu," Youra menggumam di tengah asyiknya dia mencatat. Tia tergelak.
"Kalau Egy tahu kamu nyontek PRku, kamu pasti dimarahi..."
Youra menghentikan tarian pulpennya. Tiba-tiba dia terdiam mendengar namaku disebut. Aku cemas melihat wajahnya yang berselimut murung. Tia segera menyadari kekeliruannya. Dengan sigap direngkuhnya bahu Youra kedalam pelukannya.
"Maaf..." suara Tia terdengar gelisah. "Aku tak bermaksud membuatmu sedih..."
"Tak apa..." tukas Youra cepat. Memaksakan bibirnya tuk tersenyum. Terlihat getir. Aku terpaku di tempatku. Tak mampu beranjak. Tubuhku kaku dan menegang. Bagaimana aku bisa bicara dan meminta maaf pada Youra, sedangkan saat mendengar namaku disebut saja dia langsung semurung itu? Aku tak sanggup melukai hatinya lagi. Aku sudah berjanji takkan menyakiti gadis yang sangat kucintai itu lagi.

"Youra," Defa memanggil dan bediri tegak di samping Youra. Wajahku menegang melihat sang ketua kelas yang selama ini selalu berusaha mendekati gadis itu.
"Iya?" Youra mengangkat wajah.
"Nanti malam, mau ga nemenin aku nonton?"
Youra diam tak langsung menjawab. Tampaknya dia sedang berpikir. Aku tak tenang melihat reaksinya begitu. Padahal biasanya dia langsung menolak apapun ajakan Defa padanya. Aku makin gelisah ketika kulihat Tia yang berusaha mempengaruhi Youra agar menerima ajakan Defa.
"Berangkat aja, Ra," hasut Tia. "Kamu perlu menghibur diri sekali-sekali."
Aku mengerang ketika kulihat Youra menganggukkan kepalanya pada Defa.
"Boleh deh," jawaban Youra membuatku lemas. Muak melihat wajah Defa yang mendadak cerah dengan mata berbinar.
"Sip! Aku jemput jam enam, ya?"
Lagi-lagi Youra mengangguk mengiyakan.Aku menggeram. Kecewa dengan ketidak berdayaanku yang tak bisa berbuat apa-apa melihat orang yang kucintai menerima ajakan kencan dari pria lain.
Namun aku segera tersadar. Rasanya aku pantas menerima ini semua. Sebab aku pernah memperlakukan Youra lebih kejam dari ini.

Masih teringat dengan jelas bola mata Youra membulat menatapku penuh tanya dan aku berusaha menghindar dari tatapannya itu. Aku tak bisa melihat kedua mata yang jernih itu berkaca-kaca terbungkus air mata yang menggenang dan siap tumpah.
"Aku tak mengerti, Egy," desisnya dengan suara yang sangat lirih. "Mengapa tiba-tiba kamu memutuskan hubungan kita? Apa salahku?"
Aku terbungkam. Kualihkan pandanganku pada jalan yang lengang dari balik jendela cafe. Jawaban yang telah kusiapkan sebelum kuputuskan untuk mengajak Youra bicara di tempat ini hilang menguap begitu saja.Susunan daftar kebohongan dan alasan yang sudah kurekam di kepala lenyap saat kulihat wajah polos Youra yang begitu memelas. Aku masih punya nurani untuk merasa iba padanya.
"Kenapa kamu diam saja, Egy?" Youra menyentuh punggung tanganku, memaksaku untuk menatapnya. Aku menghela nafas.
"Maafkan aku..." hanya itu yang keluar dari bibirku. Youra menggeleng cepat.
"Tidak ! Itu bukan jawaban yang ku mau...Apakah ada gadis lain?"
Pertanyaan telak, membuatku tercekat. Kelebat wajah Tania terlintas di pikiranku. Wajahnya yang cantik, kulitnya putih bersih, tinggi semampai. Tingkahnya yang lincah, manja dan agresif. Berbeda dengan Youra yang mungil, manis, kalem dan lebih malu-malu. Tania adalah gadis impian semua pria. Dan aku telah terpikat pada pesonanya yang menggoda.
Bagaimana aku bisa menjelaskan hal ini pada Youra tanpa melukai perasaannya?
"Youra...Semoga kamu mendapatkan yang lebih baik dariku," ucapku lirih.
"Tidak !" Suara Youra meningkat. Air matanya benar-benar tmpah menggenangi pipi. "Tak ada yang membuatku lebih baik selain denganmu."
Kalimat Youra mengiris batinku. Namun tetap tak mampu menyurutkan niatku.
"Aku bukan orang yang tepat buatmu."
"Kamu kejam, Egy !"
"Kamu boleh membenciku bila itu bisa membuatmu lebih baik."

Youra terdiam. Wajahnya menunduk dalam, menyembunyikan isak yang nyaris tak terdengar. Ujung jarinya menghapus tetesan air yang meleleh di ujung mata. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mengantarnya pulang, dia masih mengunci bibirnya. Tak ada lagi kata yang terucap untukku.
Di sekolah, dia menjauh. Terlebih ketika kabar kedekatanku dengan Tania menyebar dan sampai di telinga Youra, gadis itupun semakin menjauh dan nyaris menghilang dari hidupku. Meski kami satu kelas, dia seolah menganggapku tak ada.
Aku bisa pahami sikapnya itu. Aku pantas mendapatkannya. Youra telah mengubah rasa cintanya padaku menjadi kebencian. Sangat wajar memang.
Namun aku mulai merasa kehilangan. Hidupku menjadi kosong. Aku kesepian. Tak ada Youra membuat hariku menjadi hampa. Baru kusadari jika ternyata gadis itu telah mengisi penuh seluruh ruang hatiku. Hadirnya Tania hanya memberi kebahagiaan sesaat saja untukku. Dia tak bisa menggantikan Youra di hatiku.
Kecantikan Tania akhirnya menjadi boomerang bagiku. Akupun harus menelan kecewa ketika pada akhirnya gadis itu berpaling pada Andika.
Dalam putus asa, ku coba kembali mendekati Youra. Namun gadis itu benar-benar telah mengunci hatinya. Tak sedikitpun diberinya aku kesempatan untuk mendekatinya. Youra telah membangun benteng yang teramat tinggi untuk melindungi dirinya dariku.

Terpuruk dalam penyesalan...
Hidupku terguncang dan menjadi brutal. Kularikan gundahku bersama teman-temanku. Lewat tengah malam aku selalu datang untuk menjadi joki balapan liar. Nyawa menjadi tidak penting buatku. Aku merasa lepas dan bebas saat kupacu motor dengan melebihi batas kecepatan. Melayang di atas motor yang melaju kencang membuat pikiranku akan Youra teralihkan. Terlebih kedua orang tuaku selalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sehingga tak ada lagi yang peduli denganku.

"Egy !" Sebuah suara pelan membangunkanku yang tertidur pulas. Mataku mengerjap menatap sekelilingku. Kesadaranku langsung pulih ketika Youra berdiri di sampingku.
"Youra..." Aku mengucek mata. Kurasa aku masih bermimpi. Tapi ini bukan mimpi. Youra begitu nyata.
"Akhir-akhir ini kamu sering tidur di kelas."
Youra bicara padaku ! Hatiku terlonjak girang. Dan dia peduli padaku.
"Aku ngantuk sekali," jawabku pelan.
"Deni bilang padaku, kamu ikut balapan liar tiap sabtu malam," wajah Youra cemberut padaku. Aku mengangkat bahu.
"Terus kenapa?" Tanyaku.
"Bukankah itu berbahaya?" Youra menatapku cemas. "Hentikan, Egy !"
Aku tertawa lirih.
"Jika kuhentikan, kamu mau kembali padaku?"
Youra diam. Matanya meredup. Masih terbaca jelas luka itu. Luka yang pernah kutikam padanya. Dan aku ikut terluka melihatnya. Teringat kebodohan yang pernah kulakukan padanya. Aku mendengus. Penyesalan kembali merasukiku. Perih luka itu terasa lagi. Aku bangkit dari kursi dengan kesal. Beranjak meninggalkan Youra yang masih mematung. Aku tak mampu terlalu lama berada di dekatnya dan melihat luka itu di matanya. Dia belum bisa melupakan perlakuanku waktu itu, dan aku yakin jika dia juga belum bisa memaafkan aku.


Bintang berpijar cerah malam ini. Kupandang rembulan yang tersenyum pongah menyinari malam. Kuurungkan niatku untuk mengikuti Youra dan Defa yang sedang menikmati kencan mereka malam ini. Aku ingin Youra bahagia.
Dia berhak menjalani hidupnya dengan tenang bersama orang yang mencintainya. Aku yakin Defa orang yang tepat untuknya. Dia pasi bisa melindunginya. Menjaga hatinya.
Aku melihat lorong gelap kembali hadir di depanku. Ada sedikit kerlip cahaya di sana saat ku merasakan ikhlas demi Youra. Namun cahaya itu tak cukup terang untuk membawaku menyusurinya. Masih ada satu hal lagi untuk menjadikannya sempurna... kata maaf dari Youra.

Hari ini aku tak datang ke sekolah. Aku merasa kekuatanku melemah tak berdaya. Apakah ini artinya aku hampir kehabisan waktu ?
Perasaan cemas dan gelisah menyergapku. Rasa takut menyesakkanku.
Hari telah menjelang senja, saat kudengar sebuah ranting terinjak disertai suara langkah kaki yang kian mendekat. Kupaksakan diri di tengah tenaga yang nyaris punah tuk melihat siapa gerangan yang mengunjungiku kali ini. Sebab telah lama aku tak kedatangan tamu sejak kedatangan ibu sebulan yang lalu.
Mataku terbelalak melihat sosok mungil berdiri di depanku. Meletakkan seikat mawar di pembaringanku. Kerudung putihnya menutupi sebagian rambutnya yang legam. Youra menunduk dan bersimpuh di sisiku. Sekelumit doa dia ucapkan dengan tangan menengadah. Setelah mengusapkan telapak tangan di wajahnya, Youra berbicara denganku.
"Egy...aku tahu kedatanganku ini terlambat buatmu. Kamu pasti kecewa karena aku tak pernah mengunjungimu. Aku menyadari jika aku sudah terlalu lama menyimpan sakit hati ini. Dan semalam, Defa membuka hatiku. Menyadarkan aku atas keegoisanku ini."

Aku membatu mendengar kalimat Youra. Defa ! Apa yang dia katakan hingga mampu membuat Youra datang kemari ?

"Defa bilang, aku harus ikhlas," Youra melanjutkan kalimatnya seakan menjawab pertanyaanku. "Dia bilang, jika aku terus menyimpan sakit hatiku itu hanya akan membuatmu tidak tenang. Kau tahu, Egy... hingga saat ini aku masih memikirkanmu. Aku masih sering bermimpi buruk tentangmu. Tentang kecelakaan itu ! Rasanya masih sulit bagiku untuk menerima kenyataan ini."
Youra menarik nafas. Ada setetes air menitik dari matanya. Aku terpekur tanpa suara. Teringat kembali peristiwa sebulan yang lalu.
Deru motor membelah malam. Seperti biasa ku tarik gas sekencang-kencangnya. Entah mengapa, malam itu bayangan Youra tak mau lepas dari pikiranku. Teringat kembali wajah cemasnya yang memintaku untuk menghentikan kegiatan baruku ini.
Dan akhirnya, malam itu aku bertekad jika itu adalah balapan terakhir buatku. Aku akan berhenti demi Youra. Aku takkan membuatnya cemas lagi. Akan kupersembahkan kemenanganku malam itu untuk Youra.
Garis finish sudah di depan mata. Aku menyeringai ketika kusadari aku berada di posisi pertama. Namun entah darimana datangnya tiba-tiba seekor kucing melintas di depanku. Antara terkejut dan berusaha menghindar, aku tak mampu mengendalikan kemudi...
"Egy..." suara Youra kembali memanggilku. "Sekarang ini, aku ikhlaskan kepergianmu. Dan aku sudah memaafkan semua kesalahanmu di masa lalu. Tak ada lagi sisa sakit di hatiku. Kamu bisa tenang sekarang."
Saat Youra menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba aku melihat lorong di depanku bercahaya terang. Kilaunya menyeruak ke dalam mata, berhiaskan pelangi sebagai titian. Tubuhku menjadi seringan kapas. Aku merasa inilah saatnya untukku.
Kuhampiri Youra yang masih bersimpuh.
"Makasih, Youra," bisikku tepat di telinganya dengan suara lembut. Aku tahu dia takkan mendengarku. Semilir angin menerpa wajahnya, meniup ujung kerudung putihnya. Mungkin dia menyadari kehadiranku. Matanya menari-nari mencari sesuatu di sekitarnya. Namun dia takkan bisa melihatku. Kami berada di dimensi yang berbeda.

Aku berjalan meniti pelangi, setelah sebelumnya kusempatkan melihat wajah Youra tuk terakhir kali. Aku tersenyum padanya. Meyakini jika dia akan baik-baik saja. Dengan tenang kususuri lorong di depanku menuju tempat peristirahatanku yang abadi.


S E L E S A I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar