Jumat, 18 Februari 2011

Rahasia dua hati

"Namaku Hans."
"Saya tidak tanya nama anda," cetusku dengan suara meninggi. Seluruh pasang mata yang sedari tadi memperhatikan kami menjadi ricuh. Fenita tak henti-hentinya menarik ujung rokku. Namun aku tak menghiraukannya. "Saya hanya ingin mengingatkan anda jika kantor ini ada aturannya. Tentunya anda bisa membaca adanya larangan merokok di ruangan ini. Jadi saya minta anda segera mematikan rokok anda yang mengganggu kenyamanan karyawan di sini."
Pria yang bernama Hans itu hanya memamerkan sederet gigi putihnya padaku. Tapi aku tak terkesan sama sekali. Aku memang karyawan baru di sini, namun aku harus bersikap profesional. Menghadapi tamu seperti itu aku harus bersikap tegas. Seenaknya saja orang itu merokok di tempat umum,terlebih di ruang berAC seperti ini.
"Penampilan anda terlihat berpendidikan," Aku melanjutkan lagi. "Tentunya anda paham jika dalam ruang berAC tidak diperkenankan merokok. Terlebih ada peringatan dari pemerintah, bahwa merokok itu berbahaya. Dapat mengganggu kesehatan jantung, menyebabkan impotensi dan mengganggu pertumbuhan janin. Ditambah lagi baru-baru ini MUI mengeluarkan Fatwa yang menyatakan bahwa merokok itu haram..."
Omonganku mulai ngelantur. Aku ingin pria itu mengerti maksud baikku. Mataku menatapnya tajam. Yang kutatap hanya cengar-cengir di tempat.
"Arini!"
Sebuah suara berteriak marah memanggilku. Pak Daniel berjalan mendekati meja kerjaku dengan langkah panjang.
"Apa-apaan kamu?" Supervisorku itu bertanya dengan nada membentak.
"Saya hanya mencoba memperingatkan Bapak ini tentang tata tertib perusahaan kita, Pak," Aku membela diri. Pak Daniel hendak membuka mulut, namun pak Hans menahannya.
"Sudahlah, Dan," cegah pak Hans dengan kalem. "Jangan marahi dia. Suruh Arini ke ruanganku, ya?"
Pria itu tersenyum padaku, kemudian membalikkan badan dan berlalu. Aku bengong tanpa suara. Pak Daniel menatapku dingin.
"Kamu dengar kan? Kamu harus segera ke ruangan Pak Hans!"
Pak Danielpun langsung meninggalkanku dengan mukanya yang semerah kepiting saos padang. Kenapa dia semarah itu? Aku bertanya-tanya dalam hati. Semakin bingung melihat sikap orang-orang disekitarku yang berbisik-bisik bahkan ada yang memandang iba padaku. Saat aku menoleh pada Fenita, keherananku makin menjadi melihat wajahnya yang memucat.
"Ada apa sih, Fen?" Akupun bertanya padanya.
"Mampus lu, Ar..." Bagas menepuk bahuku dari belakang.
"Maksud lu??" Aku mendelik padanya. Bagas nyengir lalu pergi.
"Kamu benar-benar nggak tau, Ar?" Fenita berbisik dengan suara yang bergetar. Aku menggeleng dengan bingung.
"Pak Hans itu siapa? Kenapa Pak Daniel menyuruhku ke ruangannya? Ruangan yang mana?"
"Ruang komisaris. Pak Hans pemegang saham terbesar di perusahaan ini."
Suara pelan Fenita meledak di telingaku. Aku terperangah dengan mulut terbuka. Kuharap Fenita bohong padaku. Tapi nyatanya tak ada ekspresi dusta sedikitpun di wajahnya. Benar kata Bagas, aku benar-benar mampus!


Cukup tiga kali ketuk, sebuah suara langsung meneriakkan kata "masuk". Rasanya pintu di depanku sepuluh kali lebih berat dari pintu-pintu yang pernah kutemui sebelumnya. Meski itu cuma perasaanku saja. Aku melangkah dengan ragu. Serasa memasuki ruang sidang di pengadilan dengan dakwaan pembunuhan dan terancam hukuman mati.
Pak Hans duduk di kursinya, sibuk menulis sesuatu di atas meja tak memperhatikan kedatanganku sama sekali. Dingin AC menembus kulitku, membuatku menggigil. Tanpa suara, aku berdiri di depan mejanya. Berharap dia menyadari kedatanganku agar segera melihatku yang terpaku kikuk. Seseorang yang 10 menit yang lalu baru saja kumaki-maki di depan banyak orang, sekarang sedang memegang nyawaku. Nasibku ditangannya. Dia bisa saja memecatku saat ini juga.
"Duduk!" Pria yang kuperkirakan berusia 40 tahunan itu membuka suara tanpa mengangkat kepalanya. Dia masih menulis sesuatu. Suaranya sangat berwibawa. Bagai kucing dicocok ikan asin, akupun duduk di hadapannya. Menyimpan tanganku di atas paha.
"Pak Hans..." ku beranikan diri untuk bersuara. "Saya minta maaf..."
"Nama kamu Arini ya?" Akhirnya dia melihatku dan bertanya. Mengabaikan permintaan maafku. Aku mengangguk.
"Benar, Pak," jawabku. "Saya..."
"Sudah berapa lama kamu bekerja di sini?" Lagi-lagi dia memotong kalimatku.
"Baru satu minggu, Pak."
"Hmmm..." dia bergumam.
"Tolong jangan pecat saya, pak!" Pintaku dengan keberanian yang tersisa. Mungkin suaraku terdengar mengiba. Aku teringat ibuku yang seorang janda dan tidak bekerja. Hanya mengandalkan uang pensiun almarhum Bapak. Sementara dua adikku masih membutuhkan banyak biaya untuk sekolah mereka. Akulah satu-satunya harapan mereka. Aku harus mempertahankan pekerjaan yang sudah susah payah kudapatkan ini. Mengingat minimnya lapangan pekerjaan sekarang ini. Pak Hans tertawa keras melihat mukaku yang hampir menangis.
"Siapa bilang kamu akan dipecat?" Pria itu tersenyum. Kuberanikan diriku menatap wajahnya yang tampan.
"Jadi...Saya tidak dipecat khan, Pak?"
"Hey, kau seorang yang berani, cerdas dan tegas. Perusahaan ini membutuhkan orang sepertimu."
Aku bersorak dalam hati. Benar-benar jawaban yang melegakan. Benar-benar pemimpin yang bijaksana.
"Terima kasih, Pak."
"Pertahankan cara kerjamu itu. Terkadang kita memang perlu bersikap sedikit lebih tegas pada orang yang tidak patuh pada tata tertib perusahaan."
"Benar, Pak."
Aku manggut-manggut. Tiba-tiba merasa plong dengan sikap Pak Hans yang diluar perkiraanku.
"Baiklah...kamu bisa kembali bekerja!"
"Baik, Pak...Terima kasih."
Aku bangkit dari kursiku. Setelah tersenyum padanya, aku balikkan badan. Namun baru tiga langkah, tiba-tiba Pak Hans memanggilku.
"Arini!" Aku menoleh kembali padanya. Pria itu tersenyum dan mengedipkan mata. "Minta nomer hapenya donk..."

Bos yang aneh!
Aku menggerutu. Sudah hampir satu minggu sejak peristiwa itu terjadi. Dan kini aku punya aktivitas baru. Membalas SMS dan menerima telepon dari Pak Hans. Hampir tiap satu jam sekali dia mengirimiku SMS. Menanyakan kabar, mengingatkan aku agar segera makan, agar tidak tidur larut malam, dan beberapa hal kecil lainnya. Benar-benar tak kusangka, caci makiku padanya saat itu meninggalkan kesan yang dalam buatnya. Bahkan dia pernah secara terang-terangan menyatakan cintanya padaku.
Sedikit GR juga mendengarnya. Siapa coba yang tidak merasa bangga, disukai Bos besar seperti dia. Apalagi wajahnya juga ganteng. Postur tubuhnya juga tinggi dan tegap. Pria seusia Pak Hans memang terlihat sangat menarik. Dan yang kudengar dari Fenita, Pak Hans sudah bercerai dengan istrinya sejak 5 tahun yang lalu.

Tapi tunggu dulu!! Meskipun aku mengaguminya, namun aku tak bisa menerima cintanya. Bukan karena perbedaan usia kami yang terpaut hampir 25 tahun. Namun karena aku sudah memiliki Alvan. Alvan yang baik, penuh perhatian, walau kadang meledak-ledak bila sedang cemburu. Namun aku justru menyukai sifatnya itu. Tanpa cemburu, cinta tak ada artinya bukan?
"Arini!" Suara Ibu memanggilku dari balik pintu kamar.
"Iya, bu?" sahutku.
"Alvan sudah menunggu."
"Baik, bu..." bergegas kurapikan gaun malamku dan beranjak keluar dari kamar.

Malam ini Alvan bermaksud membawaku ke rumahnya dan memperkenalkan aku pada Orang tuanya. Bahkan dia bilang ingin lebih serius berhubungan denganku.
"Bagaimana penampilanku? Sudah cukup pantaskah?" Aku bertanya pada Alvan yang sedang menungguku di ruang tamu. Saat ini penampilan menjadi sangat penting buatku. Meski Alvan mengatakan jika Orang tuanya tidak akan mempersoalkan perbedaan sosial di antara kami, namun setidaknya aku ingin memberi kesan pada mereka jika aku cukup pantas mendampingi putra tunggal mereka.
"Hmm...Sangat cantik," Alvan memuji. Menatapku mesra. "Rasanya aku jatuh cinta lagi padamu."
Aku tergelak. Memberinya sebuah pelukan di pinggang. Tubuhnya setinggi Pak Hans. Bahkan sekilas aku melihat kemiripan di wajah mereka. Suara merekapun hampir sama. Hanya saja kulit Alvan lebih putih dari kulit Pak Hans. Rambutnya lebih hitam bila dibandingkan rambut pak Hans yang sudah mulai beruban.
Huft...! Aku mendengus. Mengapa pula aku malah membandingkan Alvan dengan Pak Hans? Apa yang kupikirkan?
Belakangan ini aku bahkan secara diam-diam mulai menanti telepon dan SMS-SMSnya. Akupun jadi lebih rajin datang ke tempat kerja. Berangkat lebih pagi karena ingin cepat-cepat bertemu dengannya. Diam-diam aku menikmati perhatian yang diberikannya padaku. Kedewasaannya membuatku nyaman. Sikapnya yang seolah selalu ingin melindungiku membuatku merasa aman.
Tidak! Kusingkirkan pikiran itu dengan cepat. Kupeluk pinggang Alvan lebih erat. Aku tak mau hanyut oleh pikiran yang terbagi. Aku memiliki Alvan dan aku sangat mencintainya. Pria di sampingku inilah yang telah mengisi ruang hatiku. Tak ada tempat lagi untuk orang lain termasuk Pak Hans.

Tapi benarkah begitu? Nyatanya ketika aku melangkahkan kaki memasuki rumah Alvan, lagi-lagi pikiranku melayang dan berhenti pada ponselku yang sengaja ku tinggal di rumah. Apakah Pak Hans meneleponku? Ataukah saat ini dia sedang cemas karena aku tak membalas SMSnya? Ah...mengapa pikiranku jadi konyol begini? Pikiranku menjadi gelisah. Detak jantung berpacu lebih cepat dari sewajarnya saat kakiku melangkah makin masuk ke dalam rumah Alvan.
"Papa sengaja menyempatkan diri datang kesini karena ingin berkenalan dengan calon menantunya."Alvan menggenggam tanganku dan berbisik. Melangkah pelan di sampingku.
"Kamu khan tahu jika orang tuaku sudah bercerai sejak aku duduk di bangku SMU?"
Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Alvan. Dia memang pernah bercerita tentang keluarganya yang broken home. Tentang kedua orang tuanya yang terpaksa berpisah karena sudah tidak menemukan lagi kecocokan dalam berumah tangga. Namun meski begitu, konon menurut Alvan, hubungan kedua orang tuanya pasca perceraian tetap baik. Karenanya Alvan tak merasakan benar-benar kehilangan sejak Orang tuanya berpisah.

"Arini?" Seorang wanita cantik berkulit putih bersih menyambut kedatangan kami dengan wajah sumringah. Suaranya lembut.
"Benar, tante," Aku mengangguk sopan, tersenyum padanya.
"Cantik sekali," Mama Alvan memelukku hangat. Hai, aku suka dengan keramahannya. Kurasa aku bisa diterima di keluarga ini. Aku langsung jatuh hati pada sikap mama Alvan yang hangat.
"Ehem!" Sebuah suara berat berdehem, meminta perhatian kami. Mama Alvan melepas pelukannya.
"Arini, kenalkan...papanya Alvan," Mama Alvan memperkenalkan aku pada pria itu. Aku terkesiap melihatnya. Begitu pula pria tersebut. Ada ekspresi terkejut yang samar tersirat di wajahnya. Tubuh tegapnya berdiri di hadapanku. Kuangsurkan tanganku dengan canggung. Dia menggenggamnya dengan erat.
"Arini," kataku memperkenalkan diri.
"Hans."
Hampir pingsan aku mendengarnya. Namun Pak Hans menggenggam tanganku lebih erat, tersenyum padaku penuh misteri. Saat kuberanikan diri memandangnya, matanya berkedip padaku. Oh my God!


-SELESAI-

Sabtu, 05 Februari 2011

Catatan Terakhir Untuk Kekasih

"Sayang...
Kutulis catatan ini untukmu. Ketika hatiku telah menjadi abu. Seusai api emosi membakar dan meluluhlantakkan asa yang menjadi pondasi cinta kita. Kutuliskan cerita ini untukmu. Tak ingin memaksamu untuk lebih mengertiku. Hanya sekedar menorehkan kisah yang kau pinta. Membayar lunas janjiku padamu.

Masih membekas dalam ingatan. Meski telah berusaha ku enyahkan. Ketika pertama kali ku mengenalmu. Hanya sebatas nama karena kita bertemu dalam dunia yang semu. Dunia yang takkan bisa membuat kita saling menatap. Hanya lewat aksara yang kita rangkai menjadi untaian kata. Ku terka wajahmu sebisa mungkin anganku melukisnya. Karena foto yang kulihat di profilmu hanya sebuah siluet wajah dalam lukisan. Namun begitu aku mengagumimu. Aku suka candamu. Suka membaca setiap tulisan yang kau update di status facebookmu. Kadang aku tak bisa temukan celah untuk ikut mengomentarinya, karena terlalu banyak temanmu yang berkomentar di situ. Tapi minimal aku tak pernah lupa tuk memberi tanda 'suka' di setiap coretanmu. Selain karena memang aku menyukai semua tulisanmu, aku juga ingin kau menyadari kehadiranku.

Sayang taukah kau...
Sehari menjelang malam Tahun Baru itu, saat kau nyatakanperasaanmu padaku, aku tak menemukan rasa lain selain bahagia. Memang benar pada awalnya aku tak percaya padamu. Karena yang ku tau kau orang yang suka bercanda. Kau hampir tak pernah mengatakan hal yang serius tiap kita bertukar sapa di beranda. Di setiap kalimat, kau selalu sisipkan canda. Sampai-sampai ketika kau bilang cinta, aku masih tertawa. Kuanggap itu sebagai humor yang paling lucu darimu. Karenanya saat hari itu kau bilang cinta padaku,akupun dengan enteng mengatakan hal yang sama. Sekali lagi karena kuanggap itu sebagai bagian dari kejahilanmu semata.
Namun tak kusangka kau mendadak murka melihatku yang menertawakan hubungan kita. Saat itulah baru kusadari jika kau sedang serius.

Kau marah padaku. Kau anggap bahwa cintaku palsu. Kau anggap aku sebagai seorang penipu!
Aku tercengang melihat perubahan sikapmu. Tanpa mau menunggu penjelasan dariku, kau menjauh. Ingin rasanya kubiarkan kau begitu. Membiarkanmu lepas dari hidupku. Toh aku tak mengenalmu secara nyata. Satu kalipun kita belum pernah bertatap muka. Aku tak mau ambil pusing. Dalam benak aku berpikir, Jika sebelumnya aku bisa hidup tanpamu, maka saat itupun ku yakin bisa menjalani hidupku sama seperti saat ku belum mengenalmu.

Namun sayangku, ketika waktu kemudian menyiksaku dengan kesunyian tanpa candamu, diam-diam aku merindukanmu. Diam-diam kusadari betapa pentingnya kau untukku. Aku butuh kamu! Saat itulah aku tahu apa yang ada di hatiku. Ada benih cinta yang kau tanam di situ dan telah tumbuh menjadi tunas yang membutuhkan siraman kasihmu agar terus tumbuh.
Kusingkirkan gengsi, akupun mencarimu. Membuka profilmu kembali. Masuk ke dalam inboxmu. Mencurahkan isi hatiku. Penyesalanku. Kerinduanku. Tentang cinta itu. Ternyata rasa itu nyata dan tak palsu...
Aku tak henti mengucap syukur ketika kau membalas inboxku. Meski awalnya masih ada sisa amarah di setiap kalimat yang kau tulis, namun aku terus berusaha tuk meyakinkanmu. Tak ada yang kupikirkan saat itu selain aku tak mau kehilanganmu.
Ternyata usahaku tak sia-sia. Kau sambut kembali cintaku. Kau rajut kembali jalinan rasa yang telah terputus. Kau tanam hatiku dengan bunga-bunga bahagia.

Oh sayang,
Sejak itulah warna hidupku tak hanya kelabu. Ada warna warni baru yang menyelimuti hari-hariku. Aku yang sebelumnya pernah terluka oleh cinta, kau sembuhkan dengan kasihmu. Kau lindungi aku dengan perisai cintamu.
"Kadang aku anggap hubungan ini biasa az gtu...tpi rasanya kya garam di tengah di dalam sirup. Larut kagak, kering juga nggak. Aku mulai takut kehilangan kmu..." kau tulis itu dalam inbox menjelang malam saat kita sedang online di jam yang sama. Kau sukses membuatku melayang-layang bahagia saat membacanya.
Tak sebatas lewat dunia maya, kitapun berkomunikasi lewat media ponsel. SMS dan teleponmu rajin menyapaku tanpa kenal waktu. Kadang kita ngobrol hingga larut malam. Wow ! Terima kasih atas kebaikan provider ponsel kita yang memberi fasilitas telepon murah hingga kita bisa leluasa ngobrol tanpa khawatir kantong jebol, hehehe...
"Apabila aku disuruh memilih antara cinta dan kamu, maka aku memilihmu, " katamu saat kita ngobrol di telepon di suatu malam.
"Apa bedanya ?" tanyaku.
"Karena kamulah cinta."
Tak kusangka dibalik canda-tawamu kau seorang yang lebih dari sekedar romantis. Kau hujani aku dengan kata-kata yang membuai dan membelai-belaiku hingga aku merasa sangat terpuja.

Kuabadikan setiap cerita yang kita lewati bersama dalam catatan-catatanku di media facebook. Kutuangkan setiap tetes rasa di situ. Saat rindu padamu ataupun saat kita berhadapan dengan konflik sehingga jarakpun merenggang. Kuikat semua cerita kita dalam catatan. Kuingin dunia tahu dan menyaksikan setiap jejak perjalanan kita.
"Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu bisa membuat cerita?" Kau bertanya setelah membaca catatanku.
"Perlukah?"
"Apa kamu tak punya cita-cita dari hobbymu itu,Say?"
"Aku ingin menulis sebuah novel," jawabku meski dalam hati masih meragukan potensiku. Mendengar jawabanku, kaupun menyambutnya hangat dan antusias. Kau memacu semangatku. Memberi dukungan sepenuhnya agar aku bisa meraih cita-citaku itu.
Aku bahagia. Puas dengan sikapmu itu. Kau seorang kekasih yang tak hanya pandai merayu dengan kata-kata puitis, namun juga memberi dukungan positif demi kebaikanku.

Kekasihku, kau membuatku semakin menyayangimu. Membuatku ingin menyatukan bunga-bunga rindu yang telah kita rangkai dalam kisah yang nyata. Tak puas hanya lewat tulisan dan suara, kitapun sepakat untuk mempertemukan raga kita.

Di suatu malam kau kejutkan aku dengan kedatanganmu yang tiba-tiba. Aku terpana melihatmu yang telah berdiri di depanku. Bukan karena parasmu yang ternyata lebih tampan dari yang kubayangkan, namun karena adanya setangkai mawar merah yang kau selipkan dijemariku. Bunga favoritku. Pipiku merona semerah kelopak mawar yang kugenggam.Malam itu menjadi malam terindah untukku. Kita bercanda, bicara meski masih tersipu-sipu. Malam yang sempurna itupun berakhir saat tiba waktunya untukmu pamit pulang. Jarum jam dinding sudah menunjuk angka sepuluh.
Kuantar kau hingga di tepi jalan depan rumah. Satu senyuman kau tinggalkan untukku. Dan itu cukup membuatku semalaman tak bisa mengingat yang lain selain senyummu.

Pertemuan sabtu malam itu bukanlah akhir, melainkan awal dari pertemuan-pertemuan berikutnya. Tak ada malam minggu yang terlewat tanpamu. Bahkan tak jarang kita menjelajah kota di kesunyian malam. Hanya untuk menikmati waktu berdua.
"Kamu ingin aku menikahimu, say?" Kau bertanya kala di suatu malam kita habiskan waktu di sebuah warung lesehan di alun-alun kota kita. Sembari menikmati secangkir kopi susu di bawah atap langit yang berbintang.
"Tidak," Aku menggeleng. "Aku tak ingin menikah denganmu."
Kau tertawa mendengar jawabanku.
"Kenapa tidak?" Kau bertanya lagi. "Apa keinginanmu, sayang?"
Aku terdiam tanpa jawaban. Aku tak bisa mengurai kata untuk menjawabnya. Ada sebuah alasan yang tertanam di benak, namun lidah seakan tak mampu menyampaikannya.
Ditengah keheningan, tiba-tiba ada SMS masuk ke dalam ponselmu. Setelah kau baca, kaupun langsung membalasnya. Tak hanya sekali. SMS itupun berbalas beberapa kali. Aku membisu. Tak hendak memprotes ataupun mengeluh. Meski ku tahu dari siapa pesan masuk itu. Pasti dari temen-temen wanitamu yang kau kenal dari dunia semu sama seperti kau mengenalku.
Andai kau tau sayang, itulah jawaban atas pertanyaanmu. Aku takut menyulam harap padamu karena terkadang aku masih tak pahami jalan pikiranmu. Tak bisa menebak apa yang kau inginkan. Meski kita telah menjadi sangat dekat, namun kau masih tertutup selimut misteri. Kadang sikapmu tak dapat kubaca.
Aku menyadari di media tempat kita bertemu, kau adalah figur yang cukup di kagumi. Tak sedikit teman wanitamu yang salah mengartikan perhatianmu. Sehingga tak sedikit pula yang jatuh cinta padamu. Aku tak mengerti apa yang ada di hatimu. Yang ku tahu kau memperlakukan mereka hampir sama dengan apa yang kau lakukan padaku. Dan kau tampak sangat menikmati semua itu.
"Playboy," pernah ku katakan itu padamu. Kau tak menyangkal. Justru terbahak menanggapi ucapanku.
"kamu cemburu, Sayang?" tanyamu sambil membawaku dalam pelukan.
"Kalau iya gimana?" Aku bertanya kembali. Kau tersenyum.
"Aku tak butuh cemburu. Sudah overload. Aku hanya ingin bercinta. Menikmati cinta," jawabanmu membuat hatiku ngilu. Apa itu? Bagaimana mungkin kau menolak cemburuku sementara aku mencintaimu? Bagaimana bisa begitu? Namun aku tak ingin berdebat. Percuma. Kau punya sejuta argumen yang bisa mematahkan pendapatku. Aku mengakui jika otakmu lebih encer daripada aku. Tak jarang aku merasa minder dan lebih bodoh setiap bicara denganmu.

Aku harus mengikuti sistemmu. Seharusnya begitu agar semua berjalan tanpa pertengkaran. Perlahan kubunuh rasa cemburuku. Tak ingin kusimpan rasa itu lagi. Kamu tak membutuhkannya, maka aku tak mau repot-repot menyiksa diri sendiri dengan perasaan itu. Itulah aku! Yang akan berusaha membuatmu bahagia meski untuk itu perasaanku terluka. Walau kau tak pernah menyadarinya.

Sayangku...
Ini adalah catatan terakhirku untukmu. Kutulis ini kala kau telah membawa pergi cintamu. Setelah malam itu kita berselisih paham. Kita bertengkar habis-habisan hingga tercetus kalimat "selamat tinggal" dari bibirku. Kau tak berusaha menahan niatku yang ingin mengakhiri semuanya. Api emosi telah membutakan mata hati kita. Semua berakhir begitu saja. Hati yang telah susah payah kususun untukmu, remuk dalam hitungan menit.
Kan kukumpulkan serpihan hatiku. Biarlah kau kan menjadi bagian dari masa laluku yang tetap berselimut misteri. Meski penyesalan terkadang menghantuiku, karena langkah kita terhenti oleh kepala yang tertutup emosi, namun kan ku biarkan semua tetap begini. Hingga suatu saat nanti kau akan menyadari betapa aku ini berarti..."

Menyibak Kabut Masa Silam

It's my life
It's now or never
I ain't gonna live forever
I just want to live while I'm alive
(It's my life)...


Suara Bon Jovi memekik lantang. Menyanyikan lagu kesukaanku yang kujadikan sebagai nada dering HPku. Ada nama Vaya muncul di layar HP. Namun aku tak bergeming dari tempat tidur. HP yang tergeletak tak jauh dariku tak kusentuh sedikitpun. Aku benar-benar tak ingin bicara dengan Vaya, adik semata wayangku itu. Karena aku bisa menebak apa yang hendak dibicarakannya denganku. Pasti tentang mama yang saat ini sedang sakit keras. Pasti Vaya ingin membujukku agar mau pulang ke Semarang secepatnya karena mama mengharapkan kehadiranku.

Mama...
Kupejamkan mataku rapat-rapat. Wajah renta mama terlihat lelah. Namun masih terlihat cantik di usia tuanya. Wajah itu tergambar jelas dalam pejamku. Aku rindu melihatnya tersenyum. Satu, dua, ku hitung waktu. Ya Tuhan, ternyata sudah dua puluh tahun aku tak lagi melihat senyumnya. Aku tak bisa melihatnya karena dua puluh tahun aku menjauhinya. Tak sekalipun pernah pulang ke pelukannya. Peluknya yang hangat. Yang mampu memberi ketenangan yang luar biasa disetiap rapuhku. Pelukan yang teramat erat kala aku terpuruk dalam kegagalan sekolahku.

"Tak ada orang yang berhasil tanpa mengalami kegagalan terlebih dahulu. Saat ini mungkin kamu belum berhasil lulus ujian, namun jika kamu mau belajar dari kegagalan ini, mama yakin kamu akan berhasil dalam ujian tahun depan."

Dengan suara yang lembut dan sarat kasih, mama membelai-belai rambutku. Aku terbenam dalam peluknya tanpa mengucap sepatah katapun.
Tak seperti Orang tua lainnya yang mungkin akan marah jika mengetahui anaknya tak lulus ujian di sekolah, mama justru memberiku kesabaran dan kelembutan yang menguatkan aku. Tanpa amarah ataupun omelan sedikitpun. Mama sungguh sangat luar biasa. Suara lembutnya mampu membuatku kembali bangkit. Meski saat itu aku sudah kehilangan semangat untuk melanjutkan studyku.
Namun sesungguhnya aku tak mau disalahkan seratus persen atas kegagalanku itu. Itu bukan tanggung jawabku sepenuhnya. Ada yang seharusnya lebih bertanggung jawab atas semua itu. Orang yang saat itu hanya menyeringai melihat kegagalanku. Padahal dia yang membuat konsentrasi belajarku menjadi kacau. Dia yang membuat aku bersumpah untuk tidak kembali ke rumah itu lagi setelah kuputuskan untuk pindah ke rumah Budhe yang merupakan kakak tertua almarhum Papa di Surabaya. Mengulang kelas di sebuah SMP swasta di ibukota propinsi Jawa timur itu.
Hingga kini kuputuskan untuk menetap di kota ini. Bahkan mama tak ku beri alamat Apartemenku karena aku tak ingin mengingat masa laluku lagi.Aku bener-benar ingin menghilang dari masa buruk itu.

***

Rupanya Vaya sudah berhenti 'menerorku' dengan teleponnya. Tampaknya dia sudah menyerah. Tak terdengar lagi suara Bon Jovi dengan lagu It's my lifenya. Kuambil ponselku yang diam membisu. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Vaya dan satu SMS. Kubaca pesan masuk itu :

"Mama benar-benar merindukan kakak. Pulanglah,Kak! Meski kepulangan kakak tak bisa menyembuhkan penyakit mama, namun setidaknya kakak bisa membuatnya tersenyum sebelum terlambat dan kakak menyesalinya..."

Air mataku benar-benar tumpah saat kubaca SMS dari Vaya itu. Mataku terpejam lagi. Sekelebat bayang mama hadir dan membuatku ingin cepat-cepat berlari pulang ke kota kelahiranku. Namun sekejap kemudian wajah mama terganti dengan seraut wajah orang yang sudah kumasukkan dalam daftar hitam di memori otakku. Wajah dengan senyum licik dan tatapan liar yang membuatku mual. Parut luka dalam hati terasa sakit lagi. Mencabik-cabik dada. Menyesakkannya. Sampai kapanpun aku tak akan pulang sebelum orang itu mati!

***

"Kamu sedang tak enak badan?" Glen menatapku cemas. Dilihatnya nasi goreng di depanku yang sedari tadi utuh tak tersentuh. Aku menggelengkan kepala.
"Ada sesuatu yang kamu pikirkan?" Glen bertanya lagi dengan kekhawatiran yang sama.
"Mamaku sedang sakit keras," Jawabku sambil menundukkan kepala. Pikiranku tenggelam dalam ingatan tentang mama.
"Aku ikut prihatin," ujar Glen tulus. "Boleh aku tahu, beliau sakit apa?"
"Kanker rahim stadium akhir."
"Astaga!" Glen terperanjat. "Kamu tak pulang ke Semarang?"
Aku terdiam. Tak tahu harus memberi jawaban apa pada cowok manis di depanku ini. Jika aku menggeleng, dia pasti akan merasa heran dan bertanya mengapa aku tak pulang di saat kondisi mama sedang kritis. Namun aku juga tak bisa bilang 'iya' karena hingga saat ini aku tetap dengan pendirianku untuk tidak pulang.
"Kalau masalah pekerjaan, kamu bisa ambil cuti. Bos pasti akan mengerti." Glen berusaha meyakinkanku. Namun sungguh bukan itu masalahnya, Glen! tukasku dalam hati. Kalau saja tak ada "monster" itu, aku pasti sudah pulang dari kemarin-kemarin. Dengan atau tanpa izin atasan.

Ditengah kebisuan kami, tiba-tiba HP Glen berbunyi. Sekilas aku meliriknya. Glen melihat layar HPnya lalu tersenyum sambil menekan beberapa tombol keypad, mengetik beberapa kalimat.
"Dari Shela?" Aku tak bisa menahan rasa ingin tahuku.
"Iya," jawab Glen ringan setelah mengembalikan ponselnya ke dalam saku celana panjangnya. "Nanti malam dia mengajakku makan malam. Hari ini dia ulang tahun. Aku sudah menyiapkan kado istimewa untuknya." Mata Glen berbinar saat mengatakannya.
"Kado apa itu?" tanyaku penasaran.
"Cincin..."Glen tersenyum lebar. "Malam ini aku akan melamarnya."
Aku terhenyak. Mulutku terbungkam erat. Dadaku terasa nyeri. Aku merasa dinding-dinding dalam ruang hatiku roboh dan remuk seketika. Glen elamar Shela? Itu wajar. Mereka sudah hampir tiga tahun berpacaran. Yang tidak wajar adalah perasaanku pada Glen. Ingin rasanya menangis saat itu juga. Namun aku sadar ini bukan tempat yang tepat untuk itu. Berpuluh pasang mata di cafe ini pasti akan langsung melihat dan mencibirku bila kukeluarkan air mataku sekarang.
Cinta yang selama ini kusmpan rapi dalam hatiku, kini menusuk-nusuk dalam dada. Cinta yang tak bisa ku sampaikan padanya. Karena tanpa ku katakanpun aku sudah tahu apa jawabannya. Glen takkan mungkin punya rasa yang sama denganku. Sekalipun dia belum memiliki kekasih secantik Shela, Glen takkan mungkin bisa membalas perasaanku.

"Hey...kok diam?" Suara Glen mengagetkanku. Kupaksakan sebuah senyum sambil menatap wajahnya. Hanya sekilas lalu kupalingkan mukaku. Oh Tuhan, aku tak sanggup melihatnya. Hati yang hancur membuatku menjadi orang yang tak berdaya. Tak kuasa menatap matanya, Aku takut Glen melihat mataku dan membaca isi hatiku. Dia tak boleh tahu tentang perasaanku. Tidak boleh! Aku tak mau dia membenciku dan menjadi muak padaku.
"Wajahmu pucat," Glen benar-benar sedang menatapku dengan matanya yang setajam mata burung elang. Aku tak sanggup lagi. Akupun beranjak dari kursi.
"Aku kembali ke kantor dulu. Sepertinya aku memang sedang tak enak badan."
"Oh...Baiklah. Kamu duluan saja. Biar nanti aku yang bayar ke kasir."
Aku hendak mengambil dompetku di saku, namun Glen buru-buru mencegah.
"Hari ini akuyang traktir."
Aku mengangkat bahu. Tak ingin berdebat,"Ok...Besok ganti aku yang traktir,"tukasku.
Glen menjawab dengan senyum. Aku buru-buru beranjak dari situ. Aku tak sanggup lebih lama lagi berada di dekatnya.

***

Vaya menyambutku dengan pelukan saat melihatku muncul di ambang pintu. Tangisnya tumpah di dadaku. Kupeluk bahunya dan iapun semakin erat mencengkeram pinggangku. Sejenak kami larut dalam kesedihan yang sangat.
"Mama sudah dimakamkan tadi pagi," suara Vaya terdengar lirih di antara isak, masih dalam dekapanku. Butiran air mata merembes di pipiku. Aku tahu kalau aku sudah terlambat sejak semalam kuterima SMS dari Vaya yang mengabarkan tentang kematian mama. Bila pada akhirnya aku putuskan untuk pulang ke kota ini lagi, semata karena Vaya yang mendesakku. Aku tak tega melihatnya sebatang kara dan menanggung kesedihan seorang diri. Kali ini aku ingin menemaninya.
Kutepiskan egoku. Kusingkirkan sejauh mungkin sakit hatiku. Sekarang Vaya sangat membutuhkanku. Hanya aku yang dimilikinya saat ini. Meskipun Vaya tak tinggal seorang diri di rumah ini. Namun aku tahu jika orang yang tinggal bersamanya bukanlah orang yang bisa diandalkan. Orang yang selama ini kusebut 'monster' dan menjadi satu-satunya orang yang ku benci di dunia ini.

"Lho...KOk nggak masuk?" Suara itu! Tiba-tiba darahku menggelegak. Tubuhku bergetar menekan kebencian yang tiba-tiba menguasaiku. Suara yang sangat ku kenal.
"Kakak baru datang dari Surabaya,Pa,"Vaya melepas pelukannya dariku. Lelaki yang dipanggilnya dengan sebutan 'papa' itu berdiri tegak di depanku. Dengan wajah tanpa dosa. Seolah dia tidak menyadari jika perbuatannya pada dua puluh tahun yang lalu itu telah menorehkan luka yang sedemikian dalam di hatiku. Yang membuatku bertekad untuk tidak kembali lagi ke rumahku.
"Kenapa nggak di ajak masuk?" Pria itu menatapku lekat. Sambil tersenyum. Seketika perutku menjadi mual melihat senyumnya.
"Ayo kak...Aku antar ke kamar kakak." Vaya menggamit lenganku. Aku mengikuti langkah Vaya tanpa bersuara ataupun melihat ke arah 'monster' itu. Pram, lelaki itu diam saja melihat sikapku yang dingin dan angkuh. Aku ingin dia tahu jika aku bukanlah bocah dua puluh tahun yang lalu.Dan sekarang ini dia hanyalah seorang kakek tua yang takkan bisa melawanku.

*

Tak banyak yang berubah dari kamarku. Barang-barangku masih terawat dan tertata rapi. Perabotannya tak bergeser sedikitpun. Seolah-olah mama benar-benar menunggu kepulanganku.
Ah...Hatiku berdesir saat melihat sebuah foto yang terpasang di salah satu dinding kamar. Foto mama yang sedang memelukku ketika aku masih berseragam putih biru. Usiaku baru lima belas tahun saat itu. masa yang seharusnya kulewati dengan ceria bersama teman-temanku. Namun kenyataannya aku justru melaluinya dengan kesendirian, kehampaan, kebencian dan amarah. Semua gara-gara luka yang ditikamkan Pram padaku. Hidupku menjadi berubah. Aku yang sebelumnya ceria berubah menjadi pendiam dan pemarah.
Sampai kini aku masih membawa luka yang tak tersembuhkan itu. Aku berlari dan bersembunyi dalam kesibukanku sebagai manager di salah satu perusahaan besar. Secara finansial, kehidupanku sudah mapan. Aku tinggal di sebuah apartemen mewah di Surabaya. Kemana-mana aku pergi dengan mengendarai kendaraan roda empatku. Karierku cemerlang. Wajahkupun sebenarnya tidak jelek. Bahkan aku mewarisi wajah bule nenekku, ibu dari Papa yang berasal dari Italia.
Tak sedikit lawan jenis yang ingin menjadi pendamping hidupku. Namun aku tak bisa membuka hatiku pada mereka. Itulah sebabnya hingga usiaku yang sekarang sudah menginjak angka tiga puluh lima tahun, tak terpikir sedikitpun di benakku untuk berumah tangga.

Huff... Aku menghela nafas berat. Tiba-tiba ingatanku kembali pada mimpi buruk duapuluh tahun silam. Ketika tiba-tiba mama pulang ke rumah dengan seorang pria. dua tahun mama bertahan dengan kesendirian sejak papa meninggal karena kecelakaan mobil yang dikendarainya. Jika pada akhirnya mamamengenal dan jatuh cinta dengan seorang pria, aku tidak keberatan. Mama berhak bahagia. Akupun sebagai anak tunggal, terkadang juga merasa kesepian.
Pram!Itunama yang dia sebut waktu dia mendekatiku dan memperkenalkan dirinya. Tangannya terulur dan senyumnya langsung memikat hatiku. Ku sambut uluran tangannya dan diapun menggenggamnya erat. Akupun langsung memberi nilai delapan untuknya sebagai calon ayahku.

Sejak mama memutuskan untuk menikah dengan Pram,aku merasa hidupku menjadi sempurna. Kehadiran Pram mampu melengkapi hidupku yang kosong dan merindukan seorang ayah. Pram sangat memanjakanku. Bahkan terkadang melebihi perhatian mama padaku.Tak jarang dia tiba-tiba memeluk dan menggodaku dengan kerlingan nakal. Namun aku menganggap itu sebagai bentuk kasih sayang, terlebih aku adalah satu-satunya anak buat mama dan Pram. Tampaknya mama juga senang melihat kedekatan kami. Saat itu aku benar-benar bahagia. Kebahagiaan itu kian lengkap ketika mama hamil dan melahirkan Vaya.
Namun kesempurnaan itu tidak bertahan lama. Padasuatu siang sepulang sekolah kudapati rumah dalam keadaan sepi. Pram menyambutku hangat membuka pintu. Aku heran melihatnya di rumah pada jam kerja. Mamapun tak terlihat di rumah.
"Mama dan Vaya pergi ke Kudus menjenguk tante Aira yang kemarin melahirkan," Seaakan bisa membaca pikiranku, Pram menjelaskan tanpa kutanya. "Aku sedang tak enak badan, makanya aku izin pulang lebih cepat."
Lagi-lagi Pram bisa menebak apa yang kupikirkan. Aku hanya tersenyum menanggapinya sambil melangkah masuk ke dalam kamar. Pram mengekor di belakangku. Aku bersikap tak acuh, karena dia sudah terbiasa masukke dalam kamarku.
Saat aku membuka kancing kemeja seragamku, tiba-tiba Pram memelukku dari belakang. Nafasnya yang panas terdengar jelas di telinga. Dalamkeadaan terkejut, aku berusaha mendorong tubuhnya. Tapi tentu saja kekuatanku sebagai bocah lima belas tahun tak sebanding dengannya. Tuuhnya lekat menempel di tubuhku. Tak bergeser sedikitpun meski aku sudah berusaha memberontak.
"Jangan menolak!" Pram berbisik di telingaku dengan nafas yang memburu. "Sejak pertama melihatmu, aku menginginkanmu."
Aku diam dengan tubuh menggigil. Ketika tangannya mulai meraba menggerayangiku, aku tak bisa bergerak. Hanya hatiku yang menghjat menyumpahinya. Detikitu juga simpatiku padanya berubah menjadi amarah bahkan benci. Aku mengutuknya kala lelaki biadab itu berhasil mendapatkan keinginannya. Tak peduli meski aku harus membayarnya dengan air mata yang terus mengalir deras menahan sakit dan dendam yang luar biasa menikam.

***

Aku nyaris terlonjak kala sebuah ketukan halus mengembalikan kesadaranku darilamunan masa silam.
"Masuk, Vay!" Seruku tanpa beranjak dari tempat tidur. Pintu terkuak pelan. Aku melompat dari tidurku saat kulihat bukan Vaya yang muncul seperti dugaanku.
Pram masuk sambil membawa secangkir kopi di atas nampan. Tiba-tiba rahangku mengeras. Jemariku mengepal melihat sosok orang yang selama ini ku anggap sebagai "monster" datang memasuki kamarku.
"Aku bawakan kopimu ke sini karena ku pikir kau mungkin terlalu capek untuk keluar kamar,"Pram bicara tanpa kutanya. Meletakkan nampan berisi kopi di atas meja.
"Mana Vaya?" Tanyaku dingin.
"Sedang keluar membeli lauk makan malam." Pram menutup pintu kamar. Aku mencium gelagat tak baik dari sikapnya.
"keluar!!" Bentakku. Sejenak Pram tertegun mendengar suaraku yang keras. Tapi kemudian dia menyeringai. Menunjukkan senyumnya yang membuatku muak. Sekilas mataku menangkap sebuah benda berkilat yang di selipkan di balik saku celananya. Sebuah pisau!
"Apa maumu?" Kutatap matanya penuh benci. Lelaki tua itu melangkah mendekat. Aku tak sempat menghindar kala pisau di tangannya ditodongkan kepadaku.
"Selama ini aku menunggumu." Ujung pisau menyentuh pipiku. Dingin. "Aku sedikit terkejut melihat penampilanmu yang sekarang. Wajah indomu sangat mempesona. Aku ingin mencumbumu seperti dua puluh tahun lalu." Pram terkekeh. Aku semakin muak mendengar tawanya.
"Dasar binatang!" Umpatku.
Pram mengangkat daguku, menempelkan pisau di leherku dan tersenyum licik.
"Aku menginginkanmu..." Wajah Pram mendekat ke wajahku. Bibirnya menyentuh bibirku. Rasanya isis perutku memberontak. Ingin muntah. Namun sepertinya Pram menikmatinya. Tangannya mulai meraba ke seluruh bagian tubuhku. Melucuti kancing kemejaku satu persatu. Aku berdiri mematung dengan tubuh menggigil menahan kebencian yang kembali merasukiku. Mataku tak berkedip menatap ujung pisau yang masih tertodong di leherku.

Tiba-tiba pintu kamar terkuak!
Vaya berteriak histeris melihat kami. Pram terkejut melepas tangannya yang berusaha membuka ikat pinggangku. Melihat Pram lengah aku berusaha merebut pisau di tangannya. Namun dengan sigap Pram berusaha mempertahankannya. Terjadi pergelutan di antara kami memperebutkan pisau itu.
"Kali ini aku takkan menyerahkan diriku padamu. Kamu salah jika menilaiku seperti bocah dua puluh tahun lalu."
Jleb! Mataku menghujamnya dengan sorot kebencian yang selama ini bersemayam di hatiku. Pram terhuyung sambil memegangi perutnya. Tanganku terasa hangat dan basah. Warnanyapun menjadi merah. Penuh dengan darah Pram yag keluar saat pisau menancap di perutnya. Pram sempat melihat mataku yang berlumuran dendam sebelum pada akhirnya tubuhnya ambruk meregang nyawa diiringi jeritan Vaya yang menggema di kesunyian malam.

*****

Aku terpekur diam di sudut dinding yang lembab dan dingin. Dendamku telah berakhir. Rasa benci itu telah kuleburkan pada Pram kala kutancapkan pisau di perutnya.
Sudah...! Semua sudah terbalas. Sudah kupaksa Pram untuk bertanggung jawab atas perbuatannya padaku. Sekarang akupun telah bertanggung jawab atas perbuatanku di balik jeruji besi ini. Namun aku tak bisa mengembalikan nyawa Pram. Begitu pula Pram yang tak bisa mengembalikan hidupku yang telah terbuang dalam trauma yang kurasakan sepanjang waktu. Trauma yang membuatku memilih untuk hidup melajang hingga di usiaku kini. Yang membuatku tak pernah mengenal apa itu cinta.

Tiba-tiba bayangan Glen berkelebat. Hanya pada Glen aku bisa merasakan rasa itu. Kelembutan Glen mampu membuka hatiku. Namun cinta itu berlabuh pada orang yang salah. Aku takkan pernah bisa memilikinya. Bahkan untuk mengatakan perasaanku padanyapun aku tak bernyali. Dia takkan bisa memahami hatiku.
Sungguh ini bukan pilihanku. Ini bukan keinginanku. Rasa itu hadir tanpa ku pinta. Hanya pada Glen aku bisa merasakannya. Tak bisa pada yang lain.
Lalu untuk apa lagi kupertahankan nafasku? Glen akan segera menikah dengan wanita pilihannya. Apalagi yang ku cari dalam hidupku?

Pikiranku membeku. Kabut di depan mata menjadi kian gelap. Tiba-tiba kulihat sinar mengerling di sudut dinding. Kuamati kilau yang berasal dari benda tipis itu. Untuk terakhir kalinya otakku bekerja. Tangan kananku meraih benda yang ternyata sebuah lempengan logam mirip silet.
Dalam hitungan detik mendadak pandanganku menjadi gelap. Kurasakan jiwaku yang melayang lepas meninggalkan jasad yang roboh diatas lantai yang dingin. Pergelangan tangan kiriku terkulai dengan nadi yang tersayat. Darahpun menggenang kental.
Sayup kudengar suara-suara panik berteriak sebelum aku benar-benar meninggalkan dunia.
"Ada yang bunuh diri...! Di blok pria nomer sepuluh. Terpidana kasus pembunuhan, namanya Aldi Ferdiansyah!"


-S E L E S A I-